Search This Blog

Sunday, October 18, 2020

Book Review 4 "Negeri 5 Menara"


review 4


Judul : Negeri 5 Menara

Penulis : A. Fuadi

Penerbit : Gramedia

Tahun : 2012 (cetakan keenambelas)


Novel pertama yang diterbitkan pada tahun 2009 ini masih bisa dinikmati hingga hari ini. Tebal hingga sekitar 400 lebih halaman membuat pembaca semakin penasaran. Bahasa yang digunakan cukup bervariasi. Cover yang diangkat untuk cetakan keenam belas terlihat menggambarkan kehidupan pesantren. Tanpa membaca dahulu, pembaca sudah bisa menyimpulkan bahwa novel ini berkisah tentang persahabatan di dalam pesantren.


Pada awal cerita, saya sedikit bosan karena belum memahami dengan benar isi cerita yang ingin disampaikan penulis. Karena saya tipe pembaca komik dan novel dengan bahasa yang ringan atau sehari-hari. Namun, hal itu tidak menyurutkan keinginan saya untuk terus membaca. Semakin banyak halaman yang dibaca, ternyata semakin membuat rasa ingin tahu bagaimana akhir kisah persahabatan mereka. Siapa sangka bahwa apa yang dikisahkan ternyata ada dalam kehidupan yang nyata. Bahkan kondisi pesantren yang digambarkan dalam novel merupakan representasi dari sebuah pesantren di Indonesia.


Alif, nama panggilan tokoh utama dalam novel ini terlahir sebagai seorang anak yang tinggal di desa. Kedua orang tuanya sangat dekat dan paham tentang agama. Setelah tamat sekolah dasar, Alif melanjutkan sekolah ke Madrasah Tsanawiyah (MTS), yaitu sekolah agama setara Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ia adalah anak yang cerdas dan selalu mendapat peringkat terbaik di sekolah. Karena itu, Ia bercita-cita melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) setelah lulus dari MTS. Tapi apa daya, keinginannya bertolak belakang dengan harapan orang tua. Sang ibu tidak memberikan izin untuk melanjutkan ke SMA. Keinginan Sang Ibu hanyalah Alif dapat bersekolah agama. Konflik pertama, terjadi perdebatan dan diskusi antara Alif dengan kedua orang tua. Hingga akhirnya Alif memutuskan pilihan Pesantren berkat informasi dari pamannya. Walau hatinya saat itu sebagian masih dipenuhi keraguan. Namun langkahnya mantap melanjutkan ke pesantren itu meski harus terpisah jauh dari keluarga dan tentu memakan waktu lama serta biaya yang lumayan menguras untuk sampai di sana.


Alif Fikri, Said Jufri, Dulmajid, Raja Lubis, Baso Salahuddin, dan Atang Yunus menjalin persahabatan yang bermula dari sebuah keterlambatan mereka datang ke masjid. Hal itu disebabkan oleh proses pemindahan barang-barang ke kamar. Mereka berenam harus menghadapi mahkama keamanan untuk diadili. Begitulah aturan Pesantren Pondok Madani (PM) yang begitu tertib dan konsisten, Siapapun yang melanggar aturan pasti akan menerima segala bentuk konsekuensi atau hukuman yang berlaku.


Berawal dari hukuman pertama itulah, mereka tak hanya sekedar menjadi sahabat namun seperti keluarga. Mereka terkadang berkumpul di bawah menara untuk saling mengobrol dan bercerita apa saja. Sahibul Menara, seperti salah satu plot kisah dalam novel ini sebagai julukan yang diberikan oleh teman-teman lain karena seringnya mereka menghabiskan waktu di bawah menara. Banyak cerita kebaikan di sana, bahkan mimpi yang mereka ungkapkan hanya dengan melihat guratan-guratan awan. Perbedaan penafsiran lukisan awan di langit sesuai dengan keinginan dan harapan mereka masing-masing di masa depan.


Konflik batin Alif tak kunjung usai meski Ia telah mendapatkan sahabat dan kehidupan menyenangkan di PM. Randai, panggilan untuk sahabat masa kecilnya terus mengusik. Bagaimana tidak ? Jika mereka berdua telah berjanji menggapai cita-cita bersama masuk SMA lalu melanjutkan perguruan tinggi ternama. Namun, nasib Alif harus menghabiskan masa yang diimpikannya di tempat yang tidak sesuai mimpinya. Apalagi ditambah kiriman surat dari Randai selalu menggoyahkan niatnya untuk menyerah untuk bersekolah di PM, ia ingin sekali lagi berbicara pada Ibunya untuk bersekolah seperti randai. Namun, ia bersyukur setiap kali rasa iri pada Randai hadir saat itu pula selalu ada kejadian yang membuatnya bersyukur berada di PM.


Sahibul Menara melewati hari-hari di PM sebagaimana mestinya seorang anak didik pesantren. Mereka melewati ujian dengan rasa gugup sekaligus bersemangat. Mereka rela mengurangi waktu istirahat hanya untuk belajar. Suasana PM menjelang ujian pun sangat mendukung. terlihat di berbagai sudut PM anak-naka lain belajar dengan gita bahkan hingga malam hari. Lampu yang biasa dimatikan menjelang jam tidur, khusus menjelang ujian lampu-lampu tetap menyala. Suasana kompetisi yang sehat sangat terasa. Semua anak murid berlomba untuk mendapatkan hasil ujian terbaik.

Seperti pesan yang disampaikan dalam novel ini berbunyi :
*saajtahidu fauqa mustawa al akhar* aku akan berjuang dengan usaha di atas rata-rata yang dilakukan orang lain." -Ahmad Fuadi 'Negeri 5 Menara' April 2010 hal.383
Barangsiapa yang berikhtiar lebih dari yang lain, maka hasil yang diperoleh tentu akan mengikuti, bisa melampaui yang orang lain dapatkan.

Novel ini mengisahkan bahwa kehidupan di pesantren juga bisa mengikuti perkembangan zaman dan teknologi. Artinya anak-anak pesantren tidak ketinggalan pengetahuan dan wawasan yang perkembangannya semakin meluas. Mereka bisa berkompetisi, melahirkan karya dari ide-ide baru yang dimiliki. Bahkan mereka bisa sampai menginjakkan karya yang diakui hingga ke luar negeri.
 
-sA-


 

No comments:

Post a Comment

Terlahir dengan Takdir Berbeda