Curahan Hati Dhiba
Mendung tak biasanya hadir sepagi ini, membuat rasa malas enggan memulai hari menghampiri. Walau aku yakin sebenarnya bukan itu yang menjadi alasan utama. Entah sampai kapan aku terus menerus merutuki diri. Padahal jika dipikir bukan aku yang mengakhiri ini sampai tuntas. Iya, dia. Laki-laki itu telah memutuskan hubungan selamanya denganku secara tidak langsung dengan menikahi perempuan lain. Ah, aku jadi ingat dengan perkataanku sendiri padanya dulu saat kami masih berkomunikasi meski sudah tak punya hubungan spesial lagi. Tak kusangka ia melakukannya dengan sempurna.
"Carilah perempuan lain yang lebih baik dariku, yang bisa mencintaimu, menerima semua tentangmu, asal jangan temanku, apalagi sahabtku, cuma itu pesanku."
Begitulah yang kukatakan padanya dulu saat ia menceritakan pertemuan dengan salah satu teman dekatku ketika sekolah dulu. Salut, ia masih mau mendengarkanku, menganggapku sebagai adik perempuannya katanya. Namun bagiku, tak pernah ada adik menaruh cinta pada abangnya sebagai seorang laki-laki. Berlaku juga untuk sebaliknya.
*****
"kamu ketemuan ya sama temanku?" tanyaku melalui sambungan telepon.
"iya, dia masih saudara kok walaupun jauh," jawabnya.
"nggak ada cewek lain?" tanyak ku langsung pada intinya.
"maksud kamu apa?" dia balik bertanya.
"kamu lagi pdkt (pendekatan) kan?" tanyaku lagi.
"emang kalau iya kenapa?" jawabnya dengan mengembalikkan pertanyaan padaku.
Aku menghela nafas panjang sebelum akhirnya melanjutkan percakapan.
"kamu boleh sama cewek manapun, asal bukan dari kota yang sama dengan kita apalagi sama temanku." jelasku panjang.
"oh, alasannya?' tanyanya lagi.
"nggak ada, pokoknya jangan sama temanku," jawabku sekenannya.
"oke, nanti aku pikir-pikir dulu," jawabnya mengiyakan permintaanku.
Percakapanku bebrapa tahun lalu menjadi sebuah kenyataan. Aku tak pernah menyangka bahwa ia menuruti keinginan yang bisa dibilang terakhir dariku. Aku merasa meski ia tak lagi mencintaiku tapi masih memikirkan perasaanku tentang perempuan yang akan ia ajak seirus. Terbukti, perempuan labuhan terakhirnya itu tak ku kenal sama sekali. Bahkan setelah menikah pun mereka tak pernah meposting kebersamaan mereka di media sosial. Aku merasa dihargai namun juga perih dalam waktu yang sama.
*****
Kulihat kau menjabat tangan seorang laki-laki dengan mantap
Dalam kesadaran penuh tanggung jawab
Kau mengucapkan satu kalimat khidmat
Teriring doa dari seluruh pasang mata menatap
Sebutir bening luruh di pipi seorang ibu
Yang telah ikhlas melepas sang anak tersayang
Berganti peran menjadi imam dari seorang gadis pujaan
Hatinya berbahagia, meski ada sedikit terselip perih
Akan gadis impian yang dulu pernah hadir
Kini telah seutuhnya menjadi kenangan
Selamanya tak kan berubah lagi
FA-Dhiba-Jogja,2010
*****
Ku pejamkan mata menikmati setiap tetes airmata yang luruh dengan mudahnya. Mungkinkah beliau masih ingat aku, sebagai gadis kekanak-kananakan yang begitu dimanjanya dulu. Ah, kenangan itu kembali memenuhi isi kepala tanpa mau berhenti.
"Dhiba, kamu nggak ada kegiatan?" tanya Bang Afnan. Suara lembutnya terdengar dari balik pintu kamar.
"enggak Bang, aku di rumah aja hari ini," jawabku cepat.
Setelah lulus sebagai siswa dari salah satu sekolah menengah atas di kota kelahiran, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah, lebih tepatnya di salah satu universitas negeri yang berada di kota Jojakarta. Aku tak mengambil kos tapi lebih memilih tinggal bersama Bang Afnan di Jogjakarta. Rumah kami di Bandung sementara ditempati oleh Bang Athar bersama istri, karena mereka baru menikah dan belum memiliki rumah sendiri.
Kuusap layar ponsel berharap ada satu panggilan tak terjawab atau pesan yang menunggu dibalas. Nihil. Tak ada satupun pesan masuk apalagi panggilan untukku. Airmataku luruh dengan sendirinya meski bibirku mengulas senyum termanisnya.
'Aku rindu,' bisikku lirih dalam hati. Aku mulai lagi, menulis tentang dirinya yang tak pernah ku mengerti mengapa selalu mengisi bayang-bayang hidup. Tanganku seolah tanpa hambatan, meluncur mengurai setiap baris kata-kata tentangnya.
Senja mengiringi kabut menyapa malam
Meninggalkan mentari hangat yang semakin hilang
Aku terseok diantara dedaunan kering
Berharap uluran tanganmu hadir
Seketika mendekapku dalam senyap
Meski rasanya itu mimpi
Entah mengapa aku tak pernah lelah
Begitu berharganya kah kamu?
Hingga menggerogoti hati
Mengabaikan setelah kau lukai
Tapi aku tetap rindu
Merindu pada yang tak mampu terobati
FA-Dhiba-Jogja,2010
Tak mampu lagi ku bendung airmata yang terus bergejolak. Aku rapuh, merindu tentang kamu. 'Maaf,' lirihku pelan. Kurasakan getaran tangan dan bahu yang tak terkendali. Aku hanya mampu mendekap erat diri sendiri agar tak perlu mengeluarkan suara saat menangis. Jangan tanya berapa kali aku sudah melakukan ini, karena aku pun tak mampu mengingatnya dengan pasti.
*****
Aku tahu ini salahku
Yang tak pernah berjuang lebih untukmu
Tapi itu karenamu
Karena kaupun begitu
Aku sangat lelah
Maaf...
Tapi kini terus merindu
Aku tak mampu membendungnya
Kisah kita terlalu indah jika hanya menjadi kenanganku sendiri
Sedangkan kamu?
Menghempaskannya semudah langkahmu yang kian menjauh
FA-Dhiba-Jogja,2010
Entah sudah berapa kata dalam goresan penaku tentangmu. Aku tak lelah dan mungkin tak bisa berhenti memikirkanmu. Aku perlu waktu, untuk mengikis semua rasaku padamu dengan perlahan. Karena aku mungkin tak seperti mu yang dengan mudahnya berlalu begitu saja. Aku punya rasa sekaligus luka secara bersamaan dalam satu waktu yang sulit untuk kudamaikan. Kedua hal yang sangat berbeda, mungkinkah perlu waktu seumur hidupku untuk merelakan segalanya?
***Tamat***