Search This Blog

Thursday, November 28, 2019

cerbung.... BUKAN KITA!

PART 5

Rindu itu Berat

Pertama kali jatuh cinta, di usia dewasa menuju kematangan bukanlah perkara yang mudah. Apalagi dijalani dengan jarak jauh, semakin menambah tantangan bagi kedua belah pihak. Bila ada kesalahpahaman memang lebih sulit untuk mengklarifikasinya. Belum lagi, ditambah jaringan telepon yang terkadang menjadi hambatan karena sukar diprediksi. Tapi, Fattah bahagia menjalani ini bersama Dhiba. Begitupun sebaliknya.

Sebulan pertama sekembalinya Fattah di perantauan memang sangat sibuk. Mulai dari perpustakaan, toko buku, sampai kejar-kejaran dosen Ia lakukan dengan gerak cepat agar semester ini tak ketinggalan untuk gelar sarjana. Fattah ingin sekali memiliki pekerjaan yang layak dan tetap. Membanggakan untuk orang tua, keluarga, dan juga Dhiba. Melamarnya adalah hal yang ingin segera Ia tunaikan secepatnya.

*****



“Dhiba antar Mami yuk ke supermarket!” Ajak Mami saat sarapan pagi.

“Jam brp Mam?” Tanya dhiba.

“Sore aja biar ga kemalaman pulang.” Jawab Mami

“ oke.” Jawab Dhiba mengiyakan ajakan Mami.

Pergi ke supermarket adalah kesukaan Dhiba. Katanya itu seperti refreshing meski hanya membeli yang diperlukan saja. Mami sebenarnya ingin menciptakan kedekatan yang nyaman terlebih dulu dengan Dhiba sebelum menanyakan perihal rasa penasarannya selama beberapa hari ini.

Mami dan Dhiba memang sudah hidup bersama selama belasan tahun. Tapi untuk memulai suatu pembicaran yang serius, Mami selalu berusaha mencari cara agar anaknya merasa nyaman dulu. Barulah persoalannya diungkapkan perlahan. Bagi Mami,  sudah sepatutnya orang tua menjadi tempat kembali ternyaman anak-anaknya.

*****

“Dhiba.. bolehkah Mami mengungkapkan sesuatu?” Tanya Mami saat suasana di supermarket sudah cukup menyenangkan Dhiba.

“Boleh-lah Mam.. tanya aja.” Jawab Dhiba.

“Kenapa akhir-akhir ini Dhiba lebih sering menyendiri? Biasanya seneng jalan ke mana-mana.” selidik Mami hati-hati.

“Nggak apa-apa Mam. Cuma pengen sendiri aja.” Jawab Dhiba singkat.

“Ada yg Dhiba pikirkan?” Tanya Mami lagi.

“Ada, tapi bukan masalah besar Mam.” Jawab Dhiba.

“Apa itu?” Tanya Mami semakin penasaran.

“Nanti Dhiba ceritakan ya Mam, tapi ga sekarang,  oke?” Bujuk Dhiba pada Maminya.

“Oke, tapi jangan lama-lama ya.” Pinta Mami.

Dhiba hanya mengangguk tanda setuju.

Selama di supermarket Dhiba membeli beberapa cemilan dan tak ketinggalan perawatan wajah yang biasa ia gunakan sebagai rutinitas harian. Dhiba tak suka make up seperti teman-temannya. Tapi Ia sangat menyukai skincare untuk sekedar perawatan.

*****

‘cling'’

sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Dhiba. ‘Fattah’ nama yang tertera di layar. Dengan sigap Dhiba membuka pesan itu. Sudah lama rasanya ia menunggu sms dari Fattah.

‘Akhirnyaaa…’ begitulah kata pertama yang terucap dari hatinya.

[ngapain Yang?]

Entah sejak kapan kini Fattah memanggil Dhiba ‘Yang’, tapi itu tak pelak membuat merona pipi setiap gadis yang tengah dibuai oleh rasa cinta yang tentu saja masih ranum.

[lagi di jalan sama Mami]

tak lama pesan pun berbalas kembali.

[telpon ya]

[jangan. Nanti aja]

[oke, kasih kabar Yang]

[iya]

Dhiba kembali meletakkan ponsel ke dalam sakunya. Bukan karena ada Mami di sebelahnya, tapi memang ia belum siap jika ditanya lebih banyak oleh wanita paruh baya kesayangannya itu. Ia takut Mami kecewa karena telah menjalin hubungan dengan seorang pria di usianya yang masih belia.

*****

"Dek, kamu udah cerita sama Mami?" tanya Athar.

"soal apa?" tanya Dhiba walau sebenarnya Ia sangat tahu ke mana arah pembicaraan ini.

"Fattah lah, siapa lagi." Tegas Athar.

Berat. Dhiba menghembuskan nafas yang selalu terasa berat jika membahas tentang Fattah. Entahlah harus bagaimana memulai pembicaraan dengan Mami. Mengingat Mami yang sedang sakit rasanya tak tega. Baru kali ini Ia merasa tertutup pada Mami. Terlalu khawatir akan penolakan dari Mami. Ia sangat tidak siap akan hal itu.

"belum bang" jawab Dhiba datar.

"kamu nih, cerita gih sama Mami. Mau sampe kapan Dek?" Cerca Atahar.

"nanti aja bang, aku belum siap denger jawaban Mami." Dhiba memelas.

"jangan salahkan nanti kalau Mami tau dari orang lain Dek, apa nggak nambah kecewa Mami namanya." Jelas Athar sambil berlalu meninggalkan Dhiba yang termenung menatap layar persegi.

Dhiba menimang - nimang ponsel genggam di tangannya. Bingung mau melakukan apa dan bagaimana pada Mami. Haruskah Ia bicara dulu pada Fattah tentang kondisi keluarganya seperti apa dan bagaimana pendapatnya untuk bicara pada Mami. Ah, lelah sekali rasanya memikirkan ini berhari-hari.

'tut tulalit tut tut tulalit tut tut'

Dering handphone Dhiba membuyarkan lamunannya. "Fattah" gumamnya menangkap nama yang tertera pada layar. Bergegas Ia ke kamar dan mengangkat telepon tersebut.

["lagi ngapain Yang?"]

["lagi di rumah. kenapa?"]

["jutek amat,dapet ya?"]

hening tak ada jawaban apapun dari Dhiba.

["lagi kenapa Yang? cerita dong"]

["kapan kamu balik?"]

["2 bulan lagi ya Yang tunggu penelitianku selesai"] janji Fattah dengan nada yakin.

["owh, oke. udah dulu ya"]

'bip'

tut tut tut tut tut

Terdengar sambungan diputus oleh Dhiba yang terang saja membuat Fattah bingung. Namun Ia mencoba berprasangka baik, mungkin Dhiba memang lagi ada keperluan atau ingin sendiri seperti kebiasaannya. 'Tenang Dhiba, jika kelak kita halal tak akan kubiarkan sepi dan sendiri menjadi temanmu lagi, ada aku' lirih Fattah dalam hati.

*****

"Thar, nanti sore anter Mami kan?" tanya Mami dibalik pintu kamar anaknya.

"pasti Mam, siap-siap aja dulu ya nanti Atahr ada perlu sebentar." Terang Athar.

"Mami, tunggu ya".

Seperti biasa hari ini adalah jadwal kontrol Mami ke dokter langganan di rumah praktek beliau. Mami lebih suka membuat janji dengan dokter tersebut di rumah praktek secara pribadi ketimbang harus mengantri di Rumah Sakit. Apalagi pakai jaminan kesehatan dan lainnya yang tentu saja menambah lama waktu berobat menurut Mami.

*****

"jadi gimana dok?" tanya Mami.

"sejauh ini masih aman bu, tapi tetap harus jaga kondisi ya, mengingat usia ibu yang sudah tidak lagi muda. Santai saja, tak perlu berpikir yang berat-berat." terang dokter panjang lebar.

"apakah belakangan ini ibu memikirkan sesuatu yang penting?" tanya dojter lagi.

"ada dok, tapi saya masih…. "

"Mami mikirin apa sih Mam?" potong Athar.

"Bukan hal serius Thar, sudahlah kamu ga usah ikut khawatir." Pinta Mami.

"Ya sudah tidak apa-apa Bu, namun jika ada hal atau masalah penting sebaiknya segera dibicarakan. Sehingga tidak mengganggu kesehatan ibu." Jelas dokter.

"Baik dok, terima kasih banyak saya pamit dulu, malam dok"

*****

Bersambung...


Sunday, November 24, 2019

cerbung.... BUKAN KITA!

PART 4

LDR Pertama




Fattah baru saja tiba di rumah ketika mendapati Ibu sedang merapikan tas koper miliknya. Beliau memang selalu yang paling sibuk bila Fattah akan berangkat lagi ke luar kota. Padahal sudah sebesar ini, tapi Fattah tetap memaksa untuk ikut terlibat urusan berbenah barang-barang yang akan dibawa. Katanya, anak lelaki itu teledor. Nanti Ibu pensiun melakukan inj kalau Ia sudah menikah, begitulah kalimat yang selalu beliau ucapkan untuk membungkam penolakan dari Fattah.

“Sudah pulang Nak?” sapa Ibu.

“iya Bu. Aku mau mandi dulu ya sekalian shalat ashar.” jawab Fattah seraya mengambil handuk menuju kamar mandi.

Selepas shalat Ia bergegas ke ruang depan. Melihat ibu tengah mengobrol dengan bapak dan adiknya yang lebih asyik menonton televisi. Fattah langsung mendekap ibu tanpa basa-basi, menyandarkan kepala dengan rambut basah yang mulai mengering pada bahu Ibu. 'Ah, rasanya aku ingin menceritakan semua yang ku rasakan padanya saat ini, tapi ku urungkan niatku itu, nanti sajalah.' Pikir Fattah seketika mengingat kembali yang terjadi hari ini.

“Bang berangkat hari apa?” tanya Tio adik Fattah tiba-tiba membuyarkan lamunannya soal Dhiba siang tadi.

“Hari minggu.” Jawab Fattah malas masih sambil memeluk Ibu.

“Jam berapa? sudah beli tiket?” Giliran bapak yang bertanya.

“Sudah Pak, kereta pagi.” Jelas Fattah pada Bapak.

“Hati-hati ya Nak.” Pesan ibu. Setiap kali kemanapun Ia melangkahkan kaki keluar rumah, cuma itu pesan yang beliau ucapkan berulang-ulang.

“Insyaallah Bu.” jawab Fattah sambil tetap memeluknya erat. Fattah memang selalu begini pada Ibu bila sedang senang. Ia yakin Ibu juga tahu. Tapi entahlah mengapa beliau tak bertanya apapun padanya kali ini.

*****

“Abang lihat loh Dhiba, kamu jalan sama cowok di Taman. Siapa tuh?” Selidik Bang Athar pada Dhiba.

“Temen aja Bang. Kalau lihat kenapa Abang  gak samperin? Abang ngapain di Taman?” Selidik balik Dhiba penuh rasa penasaran.

“Abang cuma nongkrong sama temen-temen lah. Kamu tuh jawab dulu siapa cowok tadi? Temen kok pake genggam tangan.” Tanya Bang Athar yang kali ini sepertinya Dhiba harus terbuka padanya. Daripada nanti Ia mengadu yang bukan-bukan pada Mami.

“Fattah, namanya Bang. Dia seumuran Abang juga kali ya, eh lebih tua mungkin,soalnya Dia bilang sudah mau lulus sarjana.” Dhiba menjelaskan dari awal perkenalannya dengan Fattah hingga pertemuan tadi siang dengannya. Cerita Dhiba sangat rinci, tanpa ada satupun peristiwa yang terlewat untuk diceritakan pada kakaknya itu.

“Terus kamu terima gitu aja Dhiba?” Tanyanya penasaran pada adik semata wayang yang tak pernah sedikitpun mau dekat dengan teman laki-laki. Athar bingung dengan keputusan adiknya. Aneh pikirnya. Mungkinkah Dhiba hanya menguji laki-laki tadi dengan tantangan yang Ia berikan atau adiknya itu benar-benar jatuh hati padanya.

“Iya, aku sih coba jalanin dulu. Kita buktikan saja, dia berani datang nggak minimal 2 tahun lagi..hehe” jawab Dhiba sambil tersenyum merona tanda sepertinya Ia berharap hari itu akan benar datang untuknya.

“Dhiba, makan dulu Nak sudah masuk waktu Maghrib, Mami mau shalat.” Ajak Mami sembari membuka pintu kamar dan mendapati Athar juga ada di kamar itu tengah mengobrol dengan Dhiba. Mami sepertinya tahu jadwal Dhiba libur shalat.

“Kalian ngobrolin apa? kok Mami nggak diajak? rahasia lagi nih dari Mami?” cecar Mami seperti biasanya.

“Yaelah Mami, mau ikutan juga obrolan ABG.” seru Athar beranjak dari tempat duduk berlalu ke kamar mandi mengambil wudhu untuk bersiap sholat Maghrib di Masjid.

Athar memang sering saling curhat bersama Dhiba. Namun mereka bisa sama-sama saling menjaga lisannya. Tak pernah ada kata mengadu atau apapun. Jikalau mereka sudah siap, maka masing-masing dari mereka yang akan menceritakan masalah apapun pada sang Mami. Itulah kenapa Dhiba dan Athar saling terbuka satu sama lain.

*****

Malam ini Fattah sulit sekali untuk memejamkan mata. Padahal rasa kantuk sedari tadi menghinggapi badan yang terasa lelah. 'Apa yang terjadi denganku? Mengapa sosok Dhiba selalu hadir saat aku berusaha memejamkan mata. Seolah Ia enggan aku tinggalkan sekejap hanya untuk istirahat.' Dhiba, gadis itu berhasil membuat dirinya insomnia malam ini.

Pukul 23.00 WIB Fattah masih belum bisa tidur. Lalu  Ia memutuskan untuk membuka ponsel, mengetik pesan singkat, terkirim.

[Udah tidur Yang? aku nggak bisa tidur.]

Lama Ia menunggu, namun tak kunjung ada balasan. Ah, sudahlah lebih baik berusaha lagi untuk tidur. Mungkin saja Dhiba sudah terlelap dalam mimpinya.

'Semoga aku bertemu mimpi yang sama dengannya, Love you Dhiba'. Lirihku perlahan sambil memejamkan mata.

Tak butuh waktu lama, Insan yang sedang jatuh cinta itu terlelap dalam kantuk dan lelah yang tak lagi tertahankan. Semoga benar, mereka bertemu lewat mimpi yang mereka dambakan.

****

Hari keberangkatan Fattah pun tiba. Ia sudah memeriksa kembali barang yang akan dibawa. Tak lupa membawa oleh-oleh mochi kesukaan pemilik kost tempat aku tinggal selama kuliah. Khusus hari ini untuk pertama kalinya Fattah merasa bergairah, berangkat diantar oleh sang pujaan hati, Dhiba. Meski hanya sebatas pertemuan di stasiun tak mengapa. Karena letak stasiun bisa diibaratkan berada lebih dekat dari rumah Dhiba. Jadi mereka memutuskan untuk berangkat masing-masing.

Fattah sengaja memilih naik kereta agar bisa berlama-lama dulu duduk dengan Dhiba sembari menunggu kereta datang. Bila naik pesawat, maka Ia harus check in minimal satu jam sebelum keberangkatan. Akan banyak waktu yang terbuang sendirian menunggu di bandara.

Fattah pamit pada Ibu dan Bapak. Tidak ada sendu karena memang sudah terbiasa melepas keluarga pergi merantau. Apalagi tujuannya mulia, yaitu kuliah belajar untuk masa depan yang lebih baik. Ia tak sempat bertemu adiknya, karena Tio seperti biasa sudah pergi entah kemana bersama teman-temannya.

Sesampainya di stasiun, Fattah melihat Dhiba sudah menunggu tepat di depan pintu masuk. Fattah langsung meraih tangan sang kekasih, lalu mereka masuk ke dalam bersama. Fattah memperlihatkan tiket kereta dan membayar biaya pengantar (peron). [jangan tanya situasi sekarang ya, peron sudah dihapus alias ga ada lagi pengantar yg boleh masuk, hehe]

Di dalam stasiun, mereka duduk di kursi tepat menghadap jalur satu di mana kereta Fattah akan tiba. Dhiba terlihat lebih sendu dari biasanya, meskipun sepertinya ia berusaha untuk tetap menyunggingkan senyum.

“Berapa lama lagi nanti balik ke Bandung?” tanyanya penuh harap.

“Belum tahu lah Yang.. aku harus fokus sama skripsiku dulu.” Jelas Fattah..

“Oh.. gitu.” jawab Dhiba singkat, entah tak tahu lagi harus bicara apa, hatinya terasa tak menentu.

Fattah tahu Dhiba pasti sedih dengan kepergiannya. Begitupun juga dengan dirinya yang merasa berat harus berpisah dengan Dhiba. Tapi mau bagaimana lagi, Ia harus menyelesaikan segera pendidikan agar bisa segera melamarnya. Karena Fattah merasa yakin tak ada orangtua yang mau melepaskan anak gadisnya pada laki-laki yang tidak memiliki pekerjaan tetap.

‘'prrittttttttttt’ 'prrittttttttttt’ 'prrittttttttttt’

suara peluit petugas lintasan kereta api memekakkan telinga. Tanda kereta api akan segera memasuki stasiun dan tentunya persiapan bagi yang akan turun maupun naik untuk keberangkatan berikutnya.

Deru suara bising kereta tiba menutupi sesak di dalam hati. Menyembunyikan kesedihan dengan hiruk pikuk orang-orang berkerumun antri menaiki kereta. Tak terasa kereta telah tiba di depan mata. Fattah pun pamit oafa Dhiba sambil menahan haru. Ada bulir bening yang meluncur dari sudut matanya. Ia terlihat berusaha menahan itu, namun dengan segera diusap oleh jari Fattah dan meyakinkan ia bahwa akan segera kembali suatu hari nanti.

Fattah mengantarkan Dhiba menuju pintu keluar stasiun, memastikannya aman sebelum Ia naik ke dalam kereta. Di pintu itu, Fattah memeluknya sejenak, mendaratkan kecupan pada keningnya lalu membiarkannya pergi dengan rasa sesak yang tiba-tiba menyergap.

Segera Fattah beralih memasuki gerbong kereta yang sudah penuh dengan penumpang lainnya. Ia tak mau larut dalam sedih, yang harus dilakukan adalah fokus pada skripsi dan datang untuk Dhiba lagi di kemudian hari.

*****

Dhiba membenamkan diri di atas tempat tidurnya. Entah kenapa ia begitu merasa kehilangan Fattah hanya karena laki-laki itu harus berangkat ke luar kota untuk menyelesaikan kuliahnya. Tak terbendung lagi olehnya, air mata itu berubah menjadi isak tangis yang menggambarkan kerinduan pada Fattah. Tak ada siapapun di rumahnya saat ini, karena itu semakin membuatnya merasa sendiri.

saat langkah layu perlahan mendatangimu ragu

ada asa senyap mengusik di hati

akankah jarak ini harus kulalui

sedang manisnya madu tengah kuteguk dan belum usai

haruskah berpisah disaat hati belum genap melabuhkan rindu

tanpa terasa butiran bening itu jatuh

tepat saat suara peluit mengaung memenuhi ruang

tanganmu mengusap lembut

tanpa ragu mendaratkan kecupan hangat pada ubun-ubunku

tunggu aku” begitu katamu

*****

'cling’

Handphonenya berbunyi, tanda pesan masuk itu membuatnya harus duduk untuk membacanya. Diusapnya bekas airmata yang sedari tadi tak mau berhenti mengalir. Masih dengan mata yang sembab dipaksa ya untuk membaca pesan yang masuk.

[uda di rmh Yang?]

dari Fattah ternyata.

[sudah. aku istirahat dulu ya. hati-hati di jalan]

[oke, jaga diri Yang, jgn macem2 selama aku ga ada]

Dhiba meletakkan kembali handphone itu di meja. Meringkukkan tubuhnya di bawah selimut. Ia tak ingin diganggu, hati dan fisiknya terasa sangat lelah hari ini. Selama ini Dhiba tak pernah mencintai seorang lelaki, walau banyak yang menyatakan diri padanya. Praktis tak pernah sekalipun dalam hidupnya merasakan hal seperti ini. Mencintai seseorang itu ternyata melelahkan, apalagi bila kita harus menunggu untuk kebenaran akan orang yang kita cintai.

*****

Dhiba telah terlelap dalam tidur ketika Mami pulang ke rumah. Tak ada yang menjawab salam Mami ketika memasuki rumah. Pintu terkunci dari dalam, tapi setiap penghuni rumah memiliki kunci masing-masing termasuk Mami. Sengaja, supaya tiap anggota keluarga tak perlu repot untuk bisa keluar masuk rumah karena memiliki urusan yang berbeda. Mami membuka kamar Dhiba dan mendapati putri kesayangannya tengah bermimpi. Ingin sekali rasanya bertanya banyak hal tentang rasa penasaran akan sikap putrinya belakangan ini. Namun lagi-lagi Mami menahan diri dan lebih memilih menunggu Dhiba untuk menceritakannya sendiri tanpa harus merasa diinterogasi oleh Mami.

*****

bersambung….


Friday, November 22, 2019

cerbung... BUKAN KITA!

 PART 3

Kepercayaan

-Katanya hubungan yang diawali kebohongan hanya akan menambah kebohongan berikutnya. Maka awalilah dengan niat baik dan kejujuran.-




Dhiba masih mengingat salah satu novel yang pernah ia baca sebulan yang lalu. Kutipan dalam novel itu kini membuatnya gusar. Selama ini tak pernah ada laki-laki yang dekat dengannya hingga sejauh ini. Iya, baginya begini saja sudah sangat dekat. Karena dari dulu Dhiba takut pada laki-laki yang terang-terangan mencintainya apalagi lalu mengejarnya tanpa ampun. Dhiba merasa risih dengan laki-laki seperti itu. Tapi ia pun tak mengerti kenapa lelaki yang ada di depannya kini membuatnya merasa begitu nyaman. Ia mengagumi sosok putih tegap itu sejak pertemuan pertama. Bahkan ia benar-benar bangga atas pendidikan dan pekerjaannya. Tapi, ah… kenapa kekagumannya berubah menjadi rasa takut. Dhiba takut tentang kebohongan yang tengah ia dapatkan dari lelaki itu di saat baru saja mengenalnya. Namun, ia tak tahu harus menjawab apa.

*****

Kebisuan diantara Fattah dan Dhiba berlangsung lama. Mereka sama-sama tak tahu harus memulai lagi pembicaraan dari mana. Sampai akhirnya Fattah sudah tak tahan dengan suasana hening di tengah keramaian ini, maka Ia pun mulai memberanikan diri.

“Dhiba… kamu mau kan maafin aku?” tanya Fattah dengan penuh kesungguhan menatap kedua bola mata Dhiba yang perlahan mau menatapnya balik.

“Aku nggak tahu.. apa ini sebuah awal yang baik atau akan ada akhir yang buruk. Tapi, baiklah. Untuk kali ini aku maafkan.” tutur Dhiba penuh keraguan walau sepertinya Ia berusaha mencoba memaafkan.

“Terima kasih.”

“Boleh kah aku bertanya satu hal padamu?” tanya Dhiba serius.

“Apa itu?’ Fattah penasaran.

“Apa tujuanmu menyatakan cinta padaku?” Tanya Dhiba penuh makna.

“Maksudmu?” Fattah balik bertanya karena tak paham maksud pertanyaan tadi. Karena bagi dia, ketika menyatakan cinta ya artinya aku mencintai kamu.

“Ya apa niatmu, tujuan kamu mengatakan cinta padaku sekarang? Saat ini aku masih sekolah. Lalu untuk apa kamu menjadikan ikatan di antara kita?” Terang Dhiba menjelaskan dengan nada sedikit tegas untuk memberi penekanan agar lebih dipahami.

Wow, Fattah tak pernah membayangkan Dhiba akan menanyakan hal seperti itu. Jujur agak sedikit kelabakan Fattah untuk menjawab. Sepertinya Ia tak pernah mendengar pertanyaan semacam ini bila teman-temannya berkisah tentang pernyataan cinta mereka pada wanita yang mereka sukai. Lama berpikir, kemudian Fattah mulai menjawab pertanyaan Dhiba.

“Aku sih sederhana aja, ya kita jalani aja dulu.” Urainya singkat.

“Hanya itu?” tanya Dhiba meyakinkan bahwa tak ada lagi yang ingin dijelaskan.

“i-iya.. memang kalau menurutmu gimana?” berbalik Fattah yang bertanya padanya.

“Bagi aku, kalau kita serius mencintai seseorang maka tujuannya menikah. Ya tapi kalau tujuannya putus, lebih baik nggak usah diteruskan, atau nggak usah diterima sekalian. Buat apa menjalani suatu hubungan yang tujuannya cuma putus. Pilihan cuma ada dua, mau putus atau menikah.” jelas Dhiba panjang tanpa jeda.

Termenung dalam diam Fattah mendengar penjelasan Dhiba. Pikirannya melayang pada skripsi yang belum usai dan pekerjaan yang tentu saja masih belum mapan. Lantas masa iya mau nikah? ‘Duh, ujian apalagi ini?’ ‘susah banget sih’. Gerutunya dalam hati.

“Jadi kamu mau ngapain punya ikatan sama aku? mau putus atau mau nikah?” tanya Dhiba mendesak Fattah seolah harus kujawab saat ini juga.

“Ya aku nggak mau putuslah. Memulainya aja belum. Kita jalani aja dulu. Tapi aku juga realistis kalau mau nikah. Aku ngasih makan kamu apa? aku belum mapan. Kamu mau nunggu aku minimal sampai pekerjaanku tetap?” tanya Fattah membiarkan Dhiba berpikir dan mengingat dirinya yang masih SMA.

“Emang kamu mau biayain kuliah aku?” tanya Dhiba dibarengi tawanya yang riang.

“kan aku juga mau kuliah dulu.” lanjutnya masih dengan tersenyum.

“Apa sih yang enggak buat kamu.” Jawab Fattah cepat. Hah, barusan tanpa disadari Ia ngegombal. Cuma Dhiba yang bisa membuat dirinya seperti ini. Cinta menjadikan seseorang tulus mengutarakan apapun untuk kebahagiaan orang yang dicintai. Oh, ya ampun.

“Ayo kita janji ya!” ajak Dhiba mengulurkan jari kelingkingnya ke arah Fattah.

“Janji apa nih?” lagi-lagi Fattah kurang peka dengan yang Dhiba maksud.

“Janjilah kamu nggak akan bohong lagi sama aku dan 2 tahun lagi aku tunggu kamu mengetuk pintu rumahku. Janji?” jelasnya dengan diiringi senyum manis khas miliknya.

“Iya Dhibaku sayang.. I’m promise it.! I love you…” ucap Fattah sembari menatap Dhiba penuh makna makna tanpa berkedip sedetikpun.

Kedua jari kelingking mereka saling bertaut. Sebagai simbol bahwa keduanya tengah memiliki ikatan yang bisa jadi melenakan diatas alasan 'menikah' sebagai labuhan beberapa tahun mendatang. Namun bisa jadi luka mendalam yang akan terus terngiang di sepanjang jalan masa depan.

*****

Fattah menggenggam erat tangan kekasih barunya. Ah ya, kekasih dalam balutan cinta yang masih merona merah jambu. Genggaman erat seakan tak mau ada yang memisahkan di antara mereka. Ramainya taman ini seakan senyap dan hanya ada mereka berdua. Luasnya taman ini seakan mampu berkali-kali untuk mereka kelilingi bahkan tak akan ada rasa lelah jika tetap bersama-sama. Tapi apalah daya, perut kosong ini memaksa mereka keluar taman dan mencari tempat makan terdekat. Langkah mereka beriringan meninggalkan taman dan bergegas mengisi lapar dan dahaga yang sedari tadi menyapa.

Sepanjang makan siang mereka hanya saling diam. Hanya suara sendok beradu piring yang mengisi. Mereka sama-sama fokus dengan sepiring soto bandung dan segelas es teh. lezat.  Ah, mungkin obrolan mereka terlalu berat tadi. Sehingga tanpa disadari terlalu banyak menguras pikiran serta energi yang akhirnya membuat mereka kelaparan. Benar-benar lapar.

*****

Seorang perempuan paruh baya menatap jam dinding yang sudah tampak habis kekuatannya itu dengan cemas. Ia menengok ke teras depan namun masuk kembali ke dalam rumahnya karena tak juga didapat sosok yang ia cari. Sudah hampir adzan ashar tapi anak perempuan semata wayangnya belum juga terlihat. Ia sangat khawatir mengingat dirinya sendiri sudah tak mampu mengawasi putrinya lagi. Anak itu sudah dewasa, ia berusaha meyakinkan diri.

“assalamu'alaikum..” terdengar suara pintu pagar dibuka.

Tampak Dhiba masuk membuka pintu lalu menghampirinya. Ia spontan beranjak dari tempat duduknya. Ingin rasanya bertanya banyak hal pada gadis kesayangannya itu sekarang juga. Namun, diurungkan niatnya demi mendapatkan penjelasan dari anak perempuan satu-satunya itu serinci mungkin.

“waalaikumsalam..” jawab wanita paruh baya itu dengan lembut.

Dhiba langsung mengulurkan tangan pada mami yang langsung disambut balik oleh wanita yang sedari tadi menunggu kepulangannya itu.

“Dari mana saja Nak? kok baru pulang? tumben.” Tanya Mami pada Dhiba.

“Jalan-jalan Mam, sama temen.” Jawab Dhiba singkat.

“Cewek atau cowok?” selidik mami.

“Cowok mam.” jawab Dhiba.

“ Ke mana aja? lama loh Mami nungguin kamu di rumah.” Terang mami.

“ Ke taman aja Mam. Cuma ngobrol. Dhiba pamit ke kamar ya Mam, capek.” Jelas Dhiba sambil berlalu sebelum sempat Mami mengajukan pertanyaan yang lain.

Dhiba memang berbeda dibandingkan anak Mami yang lain. Selain anak perempuan satu-satunya dalam keluarga, Ia juga yang tak pernah merasakan kasih sayang ayahnya walau hanya sebentar. Sebab Papa Dhiba sudah wafat di saat Dhiba masih dalam kandungan Mami. Beruntung Dhiba memiliki tiga orang kakak laki-laki yang selalu menyayangi dan menjaga Dhiba. Namun mungkin bagi Dhiba, masih ada ruang kosong yang tak pernah tersentuh oleh Papa. Dan entah kenapa Ia merasa ruang itu berhasil diisi oleh laki-laki yang baru beberapa jam lalu berjanji padanya. Fattah. Nama itu kini mengisi salah satu sudut di ruang hatinya.

*****
Ayah

raga ini selalu rindu
tak tahukah bahwa putrimu
tak mampu mencintaimu selayaknya
tanpa hadirmu
tanpa belaianmu
tanpa sentuhan kasih sayangmu
takdirku tumbuh tanpamu
menggariskan cinta lelaki itu
di hatiku mengisi kekosonganmu
salahkah aku ayah?
*****

Dhiba membaringkan tubuhnya di atas kasur empuk yang baru saja dibelikan oleh Mami. Setelah kasur lamanya diserahkan begitu saja pada salah satu saudara yang kata Mami lebih membutuhkan. Dhiba merasa segar setelah membersihkan diri. Rambut panjangnya yang basah dibiarkan terurai. Wangi shampoo yang ia kenakan membuatnya nyaman menikmati hatinya yang kini tengah berbahagia.

'Tok tok tok’

“Dhiba..” terdengar suara laki-laki memanggil dari luar pintu kamarnya.

“iya bang Athar masuk, nggak dikunci kok.” seru Dhiba dari dalam.

Athar adalah kakak yang paling dekat dengan Dhiba. Mungkin karena mereka hanya berbeda usia 4 tahun. Ia kakak ketiga Dhiba. Sedangkan Afnan kakak pertama Dhiba tinggal di luar kota dan Alvin kakak kedua Dhiba baru memulai hidup baru. Mereka sudah memiliki keluarga sehingga tidak tinggal di rumah bersama Mami lagi. Kerena Mami menginginkan anak-anaknya mandiri dan biarlah hanya mereka yang tahu baik buruknya rumah tangga yang mereka jalani. Mami tetap mendukung dan memberi saran apabila dibutuhkan.

“Jalan sama siapa kamu tadi dek di Taman?” tanyanya langsung pada intinya. Beginilah kebiasaan Athar pada Dhiba. Blak-blakan.

-bersambung-

Thursday, November 21, 2019

Cerbung.... BUKAN KITA!

PART 2

Rahasia 







Setelah sampai di rumah, Fattah langsung membersihkan diri dan minum air hangat. Karena tiba-tiba saja perutnya terasa mual seperti orang masuk angin.

"Darimana Nak?" tanya ibu yang heran karena Fattah pulang dalam keadaan basah sekujur tubuh.

"nganter temen pulang Bu." jawab Fattah singkat.

Ia belum menceritakan apapun soal Dhiba pada ibu. Nanti saja, bila Ia sudah pasti diterima oleh Dhiba. Fattah memang cukup dekat dengan ibunya. Berbagai hal Ia ceritakan, tapi bukan anak manja seperti kebanyakan.

"ya sudah, makanlah dulu lalu istirahat." pinta ibu lagi.

"iya bu." Fattah hanya menjawab untuk menghilangkan rasa khawatirnya.

Padahal tidak lapar. Mengingat tadi Ia sudah makan dengan Dhiba. Selain itu, Fattah masih teringat dan memikirkan perkataannya pada Dhiba soal kuliah S2. Ia menyadari belum jujur soal itu pada Dhiba. Fattah masih khawatir Dhiba akan marah lalu pergi menjauh. Entahlah, Fattah belum pernah mengalami "fall in love at the first saw" selama ini. Tapi baginya Dhiba sangatlah lain dari perempuan yang pernah Ia temui. Walau usia Dhiba yang masih sangat muda, Ia terlihat tidak manja dan kekanak-kanakan.

*****

Pertemuan Kedua

Dua hari berlalu, Fattah mengirimkan pesan singkat pada Dhiba. Ia ingin bertemu untuk mendengar jawaban dari Dhiba. Sekaligus akan berpamitan dengannya. Karena akhir pekan ini Fattah akan kembali ke Yogyakarta untuk menyelesaikan kuliah. Kebetulan hari ini adalah tanggal merah (artinya libur sekolah), maka Ia bergegas menuju rumah Dhiba untuk menjemputnya.

Sesampainya di depan gerbang rumah Dhiba, Ia hanya menunggu di atas sepeda motor. Entah kenapa Dhiba melarang untuk mengetuk pintu rumahnya. Tapi sudahlah, Fattah tak mau membahas soal itu. Hari ini Ia hanya ingin fokus mendengarkan jawaban Dhiba. Tak sabar untuk segera mengetahui kenyataan, eh jawaban.

Jantung Fattah berdegup lagi-lagi tak beraturan. Telapak tangannya pun sudah berkeringat, tanda gugup mulai merasuk ke dalam. Sesekali Ia gelisah menatap jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB, namun Dhiba tak kunjung keluar.

Sekejap lamunannya membuyar tatkala melihat Dhiba keluar membuka pintu gerbang. Ada rasa lega campur senang saat melihatnya menghampiri Fattah dengan balutan kaos panjang dan celana jeans lengkap dengan jilbab menutup kepalanya.

"sudah lama ya?" tanyanya secara tiba-tiba.

"lumayan." jawab Fattah.

"mau ke mana kita?" tanyanya.

"oh iya, ini jaketnya aku kembalikan, terimakasih." ucapnya sebelum Fattah sempat menjawab pertanyaan pertamanya.

"kamu mau pakai lagi juga enggak apa-apa, tapi ayo kita jalan dulu, aku punya tempat bagus untuk dikunjungi." ajak Fattah pada Dhiba.

Sepanjang perjalanan di atas sepeda motor, Dhiba tiba-tiba langsung membahas tentang pertanyaan Fattah beberapa hari yang lalu.

"oh iya, aku mau tanya sesuatu sebelum aku jawab pertanyaanmu waktu itu boleh?" tanyanya.

"boleh aja, tapi bisa kita bahas nanti setelah kita sampai?" tanya Fattah. Karena sejujurnya Ia harus berkonsentrasi dalam berkendara.

"baiklah." jawab Dhiba.

Mereka berkendara menuju sebuah taman terbuka. Di taman tersebut terdapat beberapa kursi ataupun area pejalan kaki. Fattah hanya berharap bisa lebih santai berbincang dan menerima jawaban apapun darinya nanti.

Tibalah mereka di sebuah taman kota yang sudah mulai ramai dipenuhi oleh anak-anak, keluarga, dan masyarakat setempat. Ternyata banyak juga warga yang memanfaatkan taman terbuka sebagai tempat untuk menghabiskan hari libur. Taman ini cukup sejuk meski pagi menjelang siang hari, karena terdapat beberapa pohon yang cukup besar untuk melindungi terik sinar matahari langsung.

Fattah mengajak Dhiba duduk di sebuah kursi taman yang masih kosong. Awalnya Ia berniat akan berbicara ringan dulu padanya, tapi Dhiba ternyata memulai percakapan lebih dulu.

"pertanyaan kamu waktu itu masih berlaku sekarang?" tanya Dhiba.

"iya masihlah." jawab Fattah dengan sedikit bingung karena tak disangka Dhiba akan langsung pada poinnya.

"boleh aku tanya sesuatu?" tanya Dhiba serius.

"boleh, mau tanya apa?" jawab Fattah sambil berusaha untuk tetap tenang.

"kenapa kamu memilih aku? aku masih sekolah loh, sedangkan kamu sudah mau lulus magister kan?" tanyanya penuh rasa penasaran.

'jleebbbb'

Seolah tertampar, Fattah terdiam sejenak, menarik napas panjang, merilekskan tubuh yang terasa berat di sandaran. Ia sungguh memikirkan jawaban yang tepat untuk Dhiba 'Apa mungkin inilah saatnya aku mengungkapkan kejujuranku padanya?' gumamnya dalam hati.

Lalu dengan perasaan yang sebetulnya masih was-was, Fattah mantap menjawab pertanyaan Dhiba perlahan.

"jujur.. yang pertama aku minta maaf sama kamu sebelumnya...." katanya terputus, karena Dhiba kaget dan langsung menodongkan dengan pertanyaan baru.

"minta maaf untuk apa?" tanyanya.

"tunggu dulu, dengarkan aku dulu, sebelum aku selesai bicara bisakah untuk tidak menyela?" jelas Fattah padanya.

"oke oke." jawab Dhiba singkat meski terlihat tidak puas atas aturan Fattah.

"maaf karena di awal pertemuan kita beberapa hari yang lalu, aku mengatakan bahwa aku akan lulus S2. Tapi sebenarnya aku cuma mau lulus Sarjana. Jadi mungkin usia kita nggak beda jauh." terang Fattah yang ditanggapi oleh Dhiba dengan wajah yang tiba-tiba berubah sendu, menandakan adanya kecewa.

"tapi... aku nggak bisa jawab dengan pasti kenapa aku memilih kamu. tapi aku juga nggak bisa mengabaikan perasaan yang tiba-tiba hadir dalam hatiku. aku suka sama kamu." jelas Fattah berusaha tegas meyakinkan Dhiba. Andai Dhiba tahu, hatinya bergemuruh diliputi rasa takut akan kehilangan. 'Tolong terimalah aku Dhiba', hanya itu yang terucap di dalam hati dan pikiran Fattah.

Dhiba bergeming tanpa mau berkata apapun. Tak enak hati Ia mendapati ada butiran bening di ujung mata Dhiba namun tak berani bertanya apapun. Ingin sekali rasanya Ia menghapus kesedihan yang terpancar pada kedua bola matanya. Sungguh Fattah tak menginginkan Dhiba menangis, apalagi karena dirinya.

Ya Tuhan. Fattah menghela nafas dalam - dalam menenangkan emosi yang bergelayut memenuhi dirinya. Angin taman terasa semilir namun tak mampu menyejukkan hati-hati yang tengah beradu.

*****

Siang itu, Ibu makan siang hanya berdua dengan bapak. Fattah sedang pergi entah ke mana, karena anak itu hanya pamit akan kerja. Sedangkan adiknya yang masih duduk disekolah menengah pertama belum pulang ke rumah. Kebetulan hari ini bapak bisa menjemput Ibu di sekolah. Suasana makan siang berdua ini Ibu manfaatkan untuk mengutarakan pembicaraan yang serius pada Bapak.

"Pak, Ibu mau ngomong serius." tutur ibu setelah habis makanan dalam piringnya.

"Ibu ngomong aja, bapak dengerin." sahut bapak sambil berusaha menghabiskan sisa makan siangnya. Masakan Ibu memang selalu nikmat di lidah bapak.

"Ini tentang Fattah Pak, Ibu mau dia cepat nikah." Jelas Ibu mengutarakan keinginannya pada Bapak.

"Gimana mau nikah Bu, kuliah aja belum wisuda?" Tanya bapak pada Ibu.

"Iya, tahun ini selesai pak, kerja sebentar trus nikah kan ga apa-apa. Ibu mau dia ga jauh-jauh dari ibu, Pak." Terang ibu sambil berharap bapak setuju dengan keinginannya.

"Jangan egois Bu.. ingat, anak-anak perlu kebebasan untuk menentukan masa depan mereka sendiri, yang penting ga salah jalan." Jawab Bapak. Bagi bapak, apapun keputusan anak-anak selama itu baik, Ia hanya perlu mendukung.

"Ibu ga minta macem-macem Pak... Ibu khawatir Fattah punya istri di luar Bandung, lalu menetap jauh dari rumah kita. Bagaimana?" Tanya Ibu menyiratkan kekhawatiran.

"Itu bisa dibicarakan nanti Bu.." Jawab Bapak singkat. Terlihat jelas di mata Ibu bahwa hal itu mungkin tak berarti bagi bapak, tapi bagi dirinya yang membayangkan akan menua tanpa anak-anak adalah hal yang berat. Tak sanggup rasanya membayangkan itu terjadi kelak. Untuk itulah Ia seharusnya sudah mewanti-wanti Fattah sebelum mendapatkan Istri nantinya.

"Kenapa Ibu tiba-tiba berpikiran seperti itu?" Tanya Bapak menepis lamunan Ibu.

"Hmmm... ga apa-apa Pak, cuma Ibu lihat hari ini Fattah berbeda dari biasanya." Jawab Ibu sambil mendesah pelan, mengatur nafas yang sebenarnya sudah ia usahakan sedari tadi. Ia sungguh merasa ketakutan akan kehilangan Fattah karena mencintai wanita yang salah.

"Apa yang membuat ibu merasa Fattah berbeda? Bapak lihat biasa saja kok Bu, Jangan mikir yang negatif Bu.. ga baik." Nasihat Bapak meluncur seperti biasa tanpa diminta.

"Fattah kok seperti bahagia sekali pagi tadi saat antar Ibu ke sekolah, senyum-senyum sendiri sepanjang perjalanan, apa itu ga aneh Pak?" Tanya Ibu lagi.

"Haha... Ibu nih, anaknya senang salah. Nanti kalau mereka sedih Ibu kepikiran juga. Mana yang boleh atuh Bu?" Tanya Bapak geli melihat sikap Ibu kali ini.

"Bapak...." pekik Ibu manja.

Kecurigaan ibu atas sikap Fattah sebenarnya membangkitkan rasa penasaran di hatinya. Namun, demi menjaga privasi anaknya, ibu urungkan niat untuk langsung bertanya pada Fattah. Ibu tidak ingin menjadi orangtua yang tidak dekat pada hati anak-anaknya lantaran interogasi berlebihan atas asumsi yang belum tentu kebenarannya. Terkadang membuat anak mendekat lebih baik, daripada memberinya beribu larangan namun akhirnya ia pun tetap berbuat di belakang orangtuanya. Kedekatan orang tua dengan anak juga jauh lebih penting daripada sekedar perintah.

"Ibu masuk dulu ya Pak.." ucap ibu sambil berlalu masuk ke dalam kamar.

"Jangan terlalu dipikirkan Bu, nanti sakit lagi." Nasihat Bapak.

"Iya Pak, jangan bilang apa-apa soal ini pada Fattah ya Pak?" Pinta ibu.

Anggukan bapak mengiyakan pesan ibu. Bagi Bapak kesehatan Ibu lebih utama demi bisa membersamai anak-anak hingga menua berdua.

*****

Bersambung....


Terlahir dengan Takdir Berbeda