PART 5
Rindu itu Berat
Pertama kali jatuh cinta, di usia dewasa menuju kematangan bukanlah perkara yang mudah. Apalagi dijalani dengan jarak jauh, semakin menambah tantangan bagi kedua belah pihak. Bila ada kesalahpahaman memang lebih sulit untuk mengklarifikasinya. Belum lagi, ditambah jaringan telepon yang terkadang menjadi hambatan karena sukar diprediksi. Tapi, Fattah bahagia menjalani ini bersama Dhiba. Begitupun sebaliknya.
Sebulan pertama sekembalinya Fattah di perantauan memang sangat sibuk. Mulai dari perpustakaan, toko buku, sampai kejar-kejaran dosen Ia lakukan dengan gerak cepat agar semester ini tak ketinggalan untuk gelar sarjana. Fattah ingin sekali memiliki pekerjaan yang layak dan tetap. Membanggakan untuk orang tua, keluarga, dan juga Dhiba. Melamarnya adalah hal yang ingin segera Ia tunaikan secepatnya.
*****
“Dhiba antar Mami yuk ke supermarket!” Ajak Mami saat sarapan pagi.
“Jam brp Mam?” Tanya dhiba.
“Sore aja biar ga kemalaman pulang.” Jawab Mami
“ oke.” Jawab Dhiba mengiyakan ajakan Mami.
Pergi ke supermarket adalah kesukaan Dhiba. Katanya itu seperti refreshing meski hanya membeli yang diperlukan saja. Mami sebenarnya ingin menciptakan kedekatan yang nyaman terlebih dulu dengan Dhiba sebelum menanyakan perihal rasa penasarannya selama beberapa hari ini.
Mami dan Dhiba memang sudah hidup bersama selama belasan tahun. Tapi untuk memulai suatu pembicaran yang serius, Mami selalu berusaha mencari cara agar anaknya merasa nyaman dulu. Barulah persoalannya diungkapkan perlahan. Bagi Mami, sudah sepatutnya orang tua menjadi tempat kembali ternyaman anak-anaknya.
*****
“Dhiba.. bolehkah Mami mengungkapkan sesuatu?” Tanya Mami saat suasana di supermarket sudah cukup menyenangkan Dhiba.
“Boleh-lah Mam.. tanya aja.” Jawab Dhiba.
“Kenapa akhir-akhir ini Dhiba lebih sering menyendiri? Biasanya seneng jalan ke mana-mana.” selidik Mami hati-hati.
“Nggak apa-apa Mam. Cuma pengen sendiri aja.” Jawab Dhiba singkat.
“Ada yg Dhiba pikirkan?” Tanya Mami lagi.
“Ada, tapi bukan masalah besar Mam.” Jawab Dhiba.
“Apa itu?” Tanya Mami semakin penasaran.
“Nanti Dhiba ceritakan ya Mam, tapi ga sekarang, oke?” Bujuk Dhiba pada Maminya.
“Oke, tapi jangan lama-lama ya.” Pinta Mami.
Dhiba hanya mengangguk tanda setuju.
Selama di supermarket Dhiba membeli beberapa cemilan dan tak ketinggalan perawatan wajah yang biasa ia gunakan sebagai rutinitas harian. Dhiba tak suka make up seperti teman-temannya. Tapi Ia sangat menyukai skincare untuk sekedar perawatan.
*****
‘cling'’
sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Dhiba. ‘Fattah’ nama yang tertera di layar. Dengan sigap Dhiba membuka pesan itu. Sudah lama rasanya ia menunggu sms dari Fattah.
‘Akhirnyaaa…’ begitulah kata pertama yang terucap dari hatinya.
[ngapain Yang?]
Entah sejak kapan kini Fattah memanggil Dhiba ‘Yang’, tapi itu tak pelak membuat merona pipi setiap gadis yang tengah dibuai oleh rasa cinta yang tentu saja masih ranum.
[lagi di jalan sama Mami]
tak lama pesan pun berbalas kembali.
[telpon ya]
[jangan. Nanti aja]
[oke, kasih kabar Yang]
[iya]
Dhiba kembali meletakkan ponsel ke dalam sakunya. Bukan karena ada Mami di sebelahnya, tapi memang ia belum siap jika ditanya lebih banyak oleh wanita paruh baya kesayangannya itu. Ia takut Mami kecewa karena telah menjalin hubungan dengan seorang pria di usianya yang masih belia.
*****
"Dek, kamu udah cerita sama Mami?" tanya Athar.
"soal apa?" tanya Dhiba walau sebenarnya Ia sangat tahu ke mana arah pembicaraan ini.
"Fattah lah, siapa lagi." Tegas Athar.
Berat. Dhiba menghembuskan nafas yang selalu terasa berat jika membahas tentang Fattah. Entahlah harus bagaimana memulai pembicaraan dengan Mami. Mengingat Mami yang sedang sakit rasanya tak tega. Baru kali ini Ia merasa tertutup pada Mami. Terlalu khawatir akan penolakan dari Mami. Ia sangat tidak siap akan hal itu.
"belum bang" jawab Dhiba datar.
"kamu nih, cerita gih sama Mami. Mau sampe kapan Dek?" Cerca Atahar.
"nanti aja bang, aku belum siap denger jawaban Mami." Dhiba memelas.
"jangan salahkan nanti kalau Mami tau dari orang lain Dek, apa nggak nambah kecewa Mami namanya." Jelas Athar sambil berlalu meninggalkan Dhiba yang termenung menatap layar persegi.
Dhiba menimang - nimang ponsel genggam di tangannya. Bingung mau melakukan apa dan bagaimana pada Mami. Haruskah Ia bicara dulu pada Fattah tentang kondisi keluarganya seperti apa dan bagaimana pendapatnya untuk bicara pada Mami. Ah, lelah sekali rasanya memikirkan ini berhari-hari.
'tut tulalit tut tut tulalit tut tut'
Dering handphone Dhiba membuyarkan lamunannya. "Fattah" gumamnya menangkap nama yang tertera pada layar. Bergegas Ia ke kamar dan mengangkat telepon tersebut.
["lagi ngapain Yang?"]
["lagi di rumah. kenapa?"]
["jutek amat,dapet ya?"]
hening tak ada jawaban apapun dari Dhiba.
["lagi kenapa Yang? cerita dong"]
["kapan kamu balik?"]
["2 bulan lagi ya Yang tunggu penelitianku selesai"] janji Fattah dengan nada yakin.
["owh, oke. udah dulu ya"]
'bip'
tut tut tut tut tut
Terdengar sambungan diputus oleh Dhiba yang terang saja membuat Fattah bingung. Namun Ia mencoba berprasangka baik, mungkin Dhiba memang lagi ada keperluan atau ingin sendiri seperti kebiasaannya. 'Tenang Dhiba, jika kelak kita halal tak akan kubiarkan sepi dan sendiri menjadi temanmu lagi, ada aku' lirih Fattah dalam hati.
*****
"Thar, nanti sore anter Mami kan?" tanya Mami dibalik pintu kamar anaknya.
"pasti Mam, siap-siap aja dulu ya nanti Atahr ada perlu sebentar." Terang Athar.
"Mami, tunggu ya".
Seperti biasa hari ini adalah jadwal kontrol Mami ke dokter langganan di rumah praktek beliau. Mami lebih suka membuat janji dengan dokter tersebut di rumah praktek secara pribadi ketimbang harus mengantri di Rumah Sakit. Apalagi pakai jaminan kesehatan dan lainnya yang tentu saja menambah lama waktu berobat menurut Mami.
*****
"jadi gimana dok?" tanya Mami.
"sejauh ini masih aman bu, tapi tetap harus jaga kondisi ya, mengingat usia ibu yang sudah tidak lagi muda. Santai saja, tak perlu berpikir yang berat-berat." terang dokter panjang lebar.
"apakah belakangan ini ibu memikirkan sesuatu yang penting?" tanya dojter lagi.
"ada dok, tapi saya masih…. "
"Mami mikirin apa sih Mam?" potong Athar.
"Bukan hal serius Thar, sudahlah kamu ga usah ikut khawatir." Pinta Mami.
"Ya sudah tidak apa-apa Bu, namun jika ada hal atau masalah penting sebaiknya segera dibicarakan. Sehingga tidak mengganggu kesehatan ibu." Jelas dokter.
"Baik dok, terima kasih banyak saya pamit dulu, malam dok"
*****
Bersambung...