Search This Blog

Monday, May 4, 2020

Besanku Mantan Terindah 1






Malam ini terasa sunyi seperti biasanya, akan tetapi hatiku lebih merasakan kesepian yang sesungguhnya. Entahlah apa yang tengah terjadi. Sore tadi, tak sengaja aku menemukan sebuah akun Facebook yang telah lama sekali sebenarnya aku cari. Gadis itu, sampai kapan akan mengusik di setiap sisi pikiran dan hati ini. Berulangkali ku coba menepis, namun asa yang dulu pernah hadir tak mampu aku hilangkan sepenuhnya. Hampir semua kenangan tentangnya hadir meski dalam lamunan dan mimpi-mimpi panjang. Berdosakah bila aku begini Tuhan? Sungguh aku tak ingin memikirkannya lagi dan lagi. Karena kini aku pun telah dua puluh lima tahun mengarungi bahtera rumah tangga, memiliki istri yang insyaallah sholehah dan dua putra yang sudah beranjak dewasa. Kami baru saja merayakan ulang tahun pernikahan yang sudah memasuki seperempat abad. Aku tak ingin melukai siapapun juga, termasuk mereka yang menjadi tanggunganku dunia akhirat. Apalagi mengingat pesan Ibu untuk segera melupakan Dhiba. Lagi, lagi, dan lagi aku tetap tak bisa.


Terkadang aku merasa seolah Dhiba masih menungguku untuk menjemputnya, meminangnya, dan menghalalkan dirinya untukku sesuai perjanjian kami saat pertama kali aku mengungkapkan cinta padanya. Maafkan keegoisanku Dhiba. Aku memang pengecut yang hanya mampu meninggalkanmu dengan mudahnya, lalu menikahi wanita lain dengan sekejap. Bahkan aku tak tahu atau memang benar-benar acuh pada perasaanmu saat itu. Mendengarmu ingin menghadiri pesta pernikahanku dari Ibu, sungguh membuatku diam tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun, aku melarangmu datang agar kau tak perlu sakit lagi karena aku. Cukup sudah derita yang kau rasa saat laki-laki ini tak berani melangkahkan kakinya lagi menemuimu, hanya karena syarat aneh pikirnya yang kau ajukan padanya. Ah, sudahlah…


Malam pun kian larut, ku usahakan untuk tidur dengan nyaman setelah pikiran ini melantur menyebrangi batasnya. Ku lingkarkan tangan ini memeluk  bidadari ku yang tengah terlelap. Ku sejajarkan wajahku dengannya hingga hanya sejengkal batas diantara kami. Kupandangi Ia lekat-lekat dan mendaratkan satu kali kecupan hangat pada bibirnya. Ia tak bergerak dari tidurnya. Sesekali kutangkap ada guratan lelah pada wajah manisnya, ada kasih sayang terpancar yang tak ada habisnya melayani suami dan anak-anak hingga saat ini. Bersyukur, ya harusnya aku bersyukur telah menikahinya tanpa perlu proses atau syarat apapun darinya. Tak seperti Dhiba dan keluarganya. Duh, lagi-lagi gadis itu yang terlintas dalam benakku. Mungkin karena inilah Ibu juga pernah memarahiku habis-habisan. Teringat saat hari di mana aku akan menikah dengan istriku ini. Perjalanan yang harus kami tempuh memerlukan waktu sekitar 2 jam (Bandung - Sumedang) untuk benar-benar sampai di rumahnya. Selama perjalanan, pada awalnya aku dan Ibu beserta keluarga yang ikut dalam mobil mengobrol biasa. Kemudian aku membuka secarik kertas bertuliskan nama istri dan ayah kandungnya sebagai latihan melenturkan lidahku melafalkan ijab qobul.


“Saya terima nikah dan kawinnya Farah Adhiba binti H.Fatur Darmawan almarhum dengan maskawin tersebut tunai.” lantang dan lancar aku ucapkan kalimat itu di dalam mobil, sontak membuat hampir semua penumpangnya terkejut dan langsung memarahiku tanpa komando. Terutama Ibu yang sangat marah padaku. Bagaimana tidak, pernikahan akan berlangsung 5 jam kedepan, lantas aku tak sengaja melafalkan ijab qobul yang salah. Baginya tidak lucu sama sekali, namun aku pun tak sadar ketika mengucapkan kalimat tersebut, karena jelas-jelas aku memegang kertas contekan tadi. Ibu khawatir aku akan salah saat pernikahan nanti, maka beliau pun menyuruhku untuk berlatih dengan benar dan sungguh-sungguh. Astaghfirullahaladzim Dhiba.. Maafkan aku. Sungguh…..

Mungkinkah rasa bersalahku padamu yang membuat diri ini tak pernah melupakanmu barang sedetikpun???




*****



“Pah, aku mau bicara berdua papah, kapan papa ga sibuk?” tanya Kahfi di sela-sela sarapannya.

“Bicara apa? sekarang aja, kan Papa belum berangkat ke pabrik.” Jawabku singkat.

“Bolehkah aku nikah Pah?” Tanya Kahfi mulai bicara.

“Serius?” Teriak Mama dari dapur seolah kaget dengan pertanyaan anak sulungnya.

“Kamu kan baru setahun kerja, apa ga mau berkarir dulu?” tanyaku tak kalah serius.

“Berkarir kan bisa setelah nikah Pah, lagian bukankah pernikahan itu mendatangkan rezeki kan Pah, Mah? terang Kahfi meyakinkan kami.




 وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nur [24]: 32)



Sejenak aku dan istri hanya terdiam dengan pertanyaan sekaligus keinginan Kahfi yang menurut kami tiba-tiba. Pasalnya Ia baru saja lulus kuliah dan bekerja selama satu tahun pada perusahaan milikku. Aku berencana menyekolahkannya kembali, melanjutkan studi Pascasarjana di luar negeri demi kemajuan usaha keluarga di bidang properti. Tapi apa bisa semua itu dilakukannya setelah Ia menikah? Batinku meragukan itu.


“Kenapa sih Fi, pengen nikah buru-buru? udah punya calon?” pertanyaan istriku membuyarkan lamunanku.


“Bukan buru-buru Mah.. tapi Allah SWT sudah menganugerahkan Kahfi sebuah rasa yang gak baik bila tidak disatukan dalam ikatan pernikahan. Kahfi niat Ibadah kok Mah, daripada pacaran kan ga boleh Mah. Sudah mendekati zina terus taunya ga jodoh kan rugi banyak Mah.” Panjang penjelasan Kahfi seolah menampar masa laluku. Tanpa disadari selama lima tahun aku berpacaran dengan Dhiba, lalu ternyata aku pun tak memilih menikahi dia, akhirnya takdir memang bukan menjodohkan kita menjadi sepasang. Benar. aku pun merasa rugi mencintainya dulu yang tak pernah kupikir akan sulit melupakannya hingga sekarang.



وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً

"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS.Al Israa. ayat 32)



“Kalau Mama dan Papa setuju aku akan meminta waktu luang Papa dan Mama untuk melamarkan aku pada seseorang yang ingin aku nikahi.” Pinta Kahfi dengan tulus.


“Kamu sudah yakin Nak dengan keputusanmu? Nikah bukan untuk main-main loh dan harus sekali seumur hidup.” Tegasku padanya berharap Ia mau memikirkan ulang niatnya itu.


“Yakinlah Pah, kan sebelum Kahfi bicara pada Papa dan Mama, terlebih dulu Kahfi bicara pada Allah melalui shalat istikharah.” jelas Kahfi dengan tenang.


“Siapa perempuan itu? kamu punya fotonya?” todong istriku langsung karena penasaran siapa gadis yang begitu beruntung membuat anaknya jatuh cinta secepat ini.


“Gak ada Mah… Nanti saat lamaran itu kan mamah bisa liat sendiri, Insyaallah ga mengecewakan kok Mah.” jawab Kahfi sambil mengedipkan mata pada Mamahnya.


“Ya sudah, nanti kita bicarakan lagi dan Kahfi pastikan ini memang benar keputusan yang kamu buat dengan mempertimbangkan saran kami sebagai orangtua dan melibatkan Allah SWT dalam setiap langkah yang kelak kamu tempuh” Jelasku sebagai seorang Papa seraya mengulurkan tangan berpamitan menuju ke pabrik. Kahfi dan istriku bergantian menyalami lalu masing-masing menyelesaikan sarapannya. Istriku melambaikan tangan ketika aku membunyikan klakson mobil tanda aku akan meninggalkan pagar rumah agar Ia langsung bisa menguncinya kembali. Selesai sarapan Kahfi pun berpamitan pada Mamah. Tak ketinggalan sebuah pelukan dan ciuman mendarat di kedua pipi sang mamah.



*****



Sesampainya di kantor aku langsung membuka laptop untuk mengecek beberapa laporan yang sudah masuk. Deg, aku lupa menutup akun Facebook ku kemarin, dan itu jelas masih terpampang sebuah akun yang membuatku terbayang akan masa lalu yang sulit itu. Aku mematung sejenak menatap layar laptop yang tertuju pada akun Facebook milik Dhiba. Lalu aku penasaran dengan kehidupan Dhiba saat ini, aku scroll ke bawah pada timeline miliknya. Aku juga sangat ingin tahu seperti apa parasnya kini. Nihil. ternyata tak ada satupun foto seorang perempuan  yang terpampang pada akun itu, hanya beberapa artikel dan tulisan panjang tanpa foto yang menggambarkan Dhiba maupun keluarganya.



*****



“Halo assalamu'alaikum.. Kalila ya?” suara di ujung telepon membuat seorang anak gadis berusia 21 tahun gugup.


“Waalaikumsalam i-iya benar. Maaf siapa?” jawabnya cepat untuk menghilangkan gugup agar tak terdengar oleh seseorang yang menelponnya. Ia sengaja, berpura-pura tak mengenali penelpon, walau ia tahu bahwa ini telpon dari Kahfi mantan kakak tingkat di Kampusnya yang beberapa bulan lalu sempat tak sengaja bertemu di sebuah toko buku ternama. Saat itu Kalila tengah mencari buku-buku kedokteran  untuk tugas pertamanya. Sedangkan Kahfi sepertinya baru sampai dan berpapasan begitu saja dengan Kalila. Mereka akhirnya mengobrol dan Kahfi pun menyerahkan kartu nama dan no.Hp miliknya untuk disimpan Kalila.


“Kamu lagi sibuk? ada waktu malam Minggu besok?” tanya Kahfi lagi.


“Kebetulan gak ada. Maaf ada apa ya?” tanya balik Kalila yang bingung.


“Orangtua kamu ada di rumah?” tanya Kahfi


“Umi Abi ada di rumah Insyaallah kalau malam. Maaf ada apa?” tanya Kalila yang semakin bingung dengan pertanyaan Kahfi.


“Insyaallah aku ke rumah ya malam Minggu. Assalamu'alaikum” Jelas Kahfi sambil menutup telepon.



*****


Jumat sore aku pulang lebih awal dari pabrik. Semua urusan kantor aku serahkan sepenuhnya pada orang kepercayaanku, Pak Insan namanya. Hari ini aku sudah berjanji pada Kahfi untuk membicarakan kembali keputusan menikahi seorang gadis yang sampai saat ini aku dan istriku tak pernah tahu orangnya. Menurutku ini sangat aneh, masa seorang papa melamarkan anak gadis untuk putra kesayangannya tanpa tahu lebih dulu siapa gadis itu, siapa orangtuanya, bagaimana keluarganya. Kahfi, anak ini harus bagaimana lagi aku berbuat untuk menangguhkan keinginannya. Dia sangat percaya diri untuk meminta kami percaya penuh pada pilihannya. Ia sangat yakin bila mama dan papanya tak akan kecewa dengan keputusannya.


“Loh dek, uda sampe kamu?” tanya Kahfi pada Kenan adik semata wayangnya itu. Kenan memang masih duduk di bangku sekolah menengah atas, tapi seringkali ia pulang selepas isya entah karena tugas belajar, ekstrakurikuler ataupun hanya bermain bersama teman-temannya. Mama dan Papa tak pernah membatasi selama yang dilakukan anak-anaknya adalah hal yang positif.


“Sudah.” Jawabnya singkat sambil menonton televisi.


“Kahfi, ayo kita duduk dan bicara sama-sama” Kataku memulai pembicaraan.


Di ruang tengah ini aku, istriku, Kahfi dan Kenan mengobrol bersama, termasuk membicarakan keinginan Kahfi untuk menikah dengan segera. Selama pembicaraan Kahfi lebih banyak meyakinkan kami sebagai orangtua agar niatnya mendapatkan restu. Namun, Kahfi berjanji bila Papa dan Mama setuju dan ridho atas keputusannya, Ia akan langsung melamar secara pribadi pada kedua orang tua gadis pilihannya itu.


Namanya Kalila. Seperti pernah mendengar nama itu entah di mana, namun buru-buru ku tepis karena tak begitu ingat. Setelah pembicaraan panjang dengan mempertimbangkan banyak hal yang sangat serius, maka aku dan istri sepakat merestui Kahfi untuk menikah.


“Alhamdulillah…. makasih Pah, Mah…” Ujar Kahfi sambil memeluk kami berdua.



*****


'Tettt….tett.. tettt’


“Assalamu'alaikum….” Kahfi memencet bel pintu dan mengucapkan salam.


Rumah sederhana ini terlihat sangat asri dan sejuk, meski malam hari hanya diterangi oleh lampu taman, tapi keindahannya tak dapat dihiraukan. Berbagai macam bunga yang mekar membuat suasana malam terasa begitu berwarna dan tidak membosankan. Sangat berbeda sekali dengan rumahnya yang bergaya modern.


“Waalaikumsalam..” terdengar seseorang menjawab salam sambil membuka pintu.


“Maaf cari siapa malam-malam?” tanya wanita itu sembari berjalan menuju pagar. Wajahnya tak nampak karena tertutup cadar.


“Saya Kahfi, ada perlu dengan Kalila Bu” jawab Kahfi cepat.


“Oh, Nak Kahfi. Silahkan masuk.. Kalila sudah cerita akan kedatangan Nak Kahfi.” Jelas wanita itu.


“Oh iya Bu.” jawab Kahfi sambil melangkah masuk ke dalam rumah.


“Silahkan duduk ya, saya Umi nya Kalila, sebentar saya panggilkan Abi dan Kalila dulu ya” terang wanita itu sambil berlalu masuk.


Tak lama Abi, Umi, dan Kalila serta dua adik Kalila ikut duduk di ruang tamu bersama Kahfi. Tak ada rasa takut ataupun gugup pada diri Kahfi, karena Ia yakin bila datang dengan niat yang baik maka akan kembali dengan kebaikan yang lebih dari apa yang ia pikirkan. Tanpa berlama-lama Kahfi pun mengutarakan maksud dan tujuannya datang berkunjung.




-Bersambung-


Terlahir dengan Takdir Berbeda