Search This Blog

Wednesday, December 18, 2019

PURA-PURA LUPA

 POV Dhiba

**********************************
"Hei, uda lama?"

"Nggak, baru dateng."

Sapaan kami untuk pertama kali setelah setahun lamanya ia menghilang memutuskan komunikasi begitu saja. Aku tahu, ia sudah milik yang lain. Aku tahu, ia tak mungkin kembali. Aku juga tahu, sudah tentu tak ada lagi namaku di hatinya. Karena takdir kita hanya sekedar dipertemukan di masa lalu, namun Bukan Kita yang dipersatukan di masa depan. Entah apa yang membuatku mengiyakan ajakan darinya untuk bertemu. Mungkinkah aku merindukannya? Atau hanya sekedar ingin tahu untuk apa ia ingin menemuiku.




Fattah.

Dia adalah laki-laki yang sangat istimewa di hatiku dulu, bahkan mungkin hingga saat ini. Tuhan menghadirkannya dalam episode kehidupanku dengan indahnya. Dia juga dengan mudahnya meninggalkanku di saat tantangan menyapa bersama. 'Harusnya kamu berjuang dan mempertahankan ini semua jika kamu cinta. Bukankah kamu sudah berjanji?' Hal itulah yang pernah terlintas ingin kurutuk padanya. Namun nyatanya menguap bersama hari-hari yang kian berlalu. Entah bagaimana caranya aku akan melupakan dia, aku belum tahu. Kini laki-laki itu duduk di hadapan, memandangku sesaat kemudian menyunggingkan senyum yang sedikit dipaksakan.

"Apa kabar Dhib?" tanyanya memulai percakapan.

"Alhamdulillah," jawabku singkat.

"Sibuk apa sekarang?" tanyanya lagi.

"Biasa aja," jawabku bingung. Ingin sekali berkata padanya, aku nggak sibuk apa-apa sampai bisa menemuimu di sini. Ugh, lagi-lagi aku hanya mampu berkata dalam hati.

"Kamu, hmm…..", kalimatnya menggantung.

"Apa?" tanyaku penasaran.

"Apa abang tidak masalah menanyakan hal ini padamu?" tanyanya.

Aku hanya sanggup mengangguk tanda setuju.

"Kenapa kamu harus ke luar negeri?" tanyanya melemah, seperti menahan haru yang sulit diungkapkan.

Pertanyaannya membuatku tersentak seketika, sekaligus sanggup membuat panas wajahku. Beruntung aku bisa menepisnya cepat-cepat. Tahu darimana dia kalau aku akan pindah ke luar negeri? Apa selama ini ia masih stalking media sosial milikku? Aaaghr GR nya aku.

"Aku hanya melanjutkan sekolah disana," jawabku datar.

"Bukan karena abang?" tanyanya dengan tatapan penuh percaya diri atau entah itu harapan.

Aku menggeleng perlahan.

'Ya, karenamu bang', ucapku dalam hati. Aku hanya sanggup mengatakan itu pada diriku sendiri. Walau sejujurnya aku ingin sekali berkata yang sebenarnya. Tapi aku tak ingin ada hati yang tersakiti nantinya hanya karena itu.

"Dhiba…. jujurlah!" titahnya padaku.

Sekali lagi aku hanya bisa menggelengkan kepala. Maafkan aku yang berbohong untuk menjagamu dan tentunya pasanganmu saat ini. Walau rasanya hatiku sakit sekali.

"Aku sudah jujur, kepergianku ke luar negeri murni hanya untuk sekolah lagi." Jawabku mantap, meski jantungku berdegup hebat seolah akan ada gemuruh yang siap meruntuhkan pertahananku. Aku menyakinkan diri sambil berusaha agar butiran itu tak perlu luruh di hadapanmu.

"Abang rindu Dhib, maaf….." tuturnya pelan samar kudengar.

Bagai mendapatkan hawa sejuk, aku merasa di atas angin mendengar penuturannya. Tapi aku tak mau larut dalam angan-angan kosong belaka. Karena nyatanya, kita dengan keadaan yang berbeda sekarang.

"Untuk apa bang?" tanyaku ingin tahu maksud dan tujuannya berkata seperti itu.

"Nggak ada Dhib, abang hanya ingin mengatakannya saja," jawabnya polos.

"Mudah ya buat abang?" tanyaku sinis.

"Maksudmu?" Dia balik bertanya sedikit memincingkan sudut matanya, heran.

"Untuk apa bang mengungkapkan hal yang sia - sia?" tanyaku lagi jengkel dibuatnya.

"Bagi abang itu tidak sia-sia, abang ingin kamu tahu, bahwa dulu….. maafkan abang Dhiba," Ia tak sanggup meneruskan percakapan dan tiba-tiba menggenggam tanganku memohon. Aku tak kuasa menolak dan justru tersenyum manis dalam hati menikmati genggaman tangannya yang telah lama aku rindukan.

"Dhiba tidak mau mengungkit semua yang sudah berlalu, maaf tolong lepaskan tangan abang," kataku, meski hati ini berteriak 'genggam erat selalu tangan ini bang'.

"Kasih abang kesempatan sekali ini aja Dhib, setidaknya sebelum kamu pergi ke luar negeri, abang mohon maafkan abang", genggaman tangannya semakin erat kurasa, semakin membuatku tak mampu berkata tidak lagi. Aku mengutuk diriku sendiri, ada apa denganku hari ini.

"Jika hanya sebuah maaf, maka aku sudah memaafkan abang sejak dulu, tepat saat hari dimana abang memutuskan hubungan kita. Aku percaya, pilihan abang tepat", jelas ku padanya. Belum sempat ia menjawab, aku meneruskan kalimatku.

"Pulanglah bang, jangan sakiti istrimu seperti ini,". Entah malaikat lewat dari mana aku bisa berkata dengan mudahnya. Tapi jangan tanyakan bagaimana rasanya hatiku, sakit. Ketika ku tahu bahwa, aku hanya bisa mengenalmu, tapi bukan aku yang beruntung memilikimu. hufft…. aku menghembuskan nafas berat mengingat bayanganmu dulu melintas memainkan sebuah lagu lawas dari naff.

Jika nanti ku sanding dirimu
Miliki aku dengan segala kelemahanku
Dan bila nanti engkau di sampingku
Jangan pernah letih tuk mencintaiku

*****

"Maafkan abang Dhiba, sungguh abang tidak bermaksud meninggalkanmu, abang memang pengecut, tak berani lagi menghadapi keluargamu, abang tak layak untuk Dhiba, abang merasa rendah dan tidak berguna", tuturnya yang menurutku sudah tak ada lagi gunanya kini.

Aku hanya termangu dalam lamunanku sendiri. Angin senja disini berbaik hati mampu menyegarkan hati dan perasaanku yang kian sesak. Bagaimana mungkin aku bisa menerima semua alasannya, atau bahkan bersorak ria dengan pengakuan rindunya terhadapku. Sedangkan aku tahu, disisinya kini telah ada sosok yang sama sepertiku yang harus dijaga perasaannya.

Wanita itu pernah melabrak, memaki, dengan tuduhan yang sama sekali tidak benar adanya. Padahal aku sama sekali tak mengenalnya, tapi dia pasti tahu bahwa aku adalah seseorang di masa lalu Fattah, calon suaminya. Sejak itu, aku pun semakin membuat jarak diantara mereka. Apalagi setelah mereka melangsungkan pernikahan, aku tak pernah sekalipun ingin tahu apapun lagi tentang mereka, meski mereka berdua pernah mengucapkan selamat atas kelulusan program sarjana di laman media sosialku.

"Aku sudah memaafkanmu bang, pulanglah", akhirnya aku membuka suara.

"Maafkan abang Dhiba, semoga perjalananmu lancar dan kehidupanmu lebih baik di sana", ucapnya padaku. Aku menangkap ada embun di matanya saat beradu pandang denganku.

"Terima kasih," jawabku menguatkan diri.

"Aku pamit ya, datanglah minggu besok di acara syukuran anak pertamaku jika sempat", terangnya sambil mengulurkan sebuah kertas undangan kecil bergambar robot.

Aku tidak begitu kaget dengan berita itu, karena sebelumnya aku sudah mendapatkan kabar itu dari Ibunya. Ya, komunikasi aku dengan Ibu Fattah masih berjalan walau hanya sesekali dan untuk hal penting saja.

Fattah berlalu pergi dari hadapanku dengan menyalamiku terlebih dulu. Seperti biasa ia menyodorkan punggung tangannya. Aku pun hanya menurut dengan mencium punggung tangannya persis seperti dulu.

"Abang masih sayang kamu, Dhiba", bisiknya lirih hampir tak terdengar. Lalu berlalu meninggalkanku yang masih duduk di bawah rimbunnya pohon pinus. Fattah berjalan melewati beberapa pepohonan yang semakin lama kian menjauh dari pandang.

Aku hanya diam, merenung tentang pertemuan ini yang entah ingin aku bodohi diri atau apa. Semua rasa sakitku muncul ke permukaan sekali lagi. Jauh lebih sakit, tapi anehnya aku juga lebih ikhlas. Mungkin inilah takdir yang harus aku lalui. Jikalaupun aku dilahirkan kembali, tentu aku tetap berada pada goresan perjalanan hidup yang seperti ini. Hikmahnya belum kurasa sepenuhnya, namun aku berharap akan ada secercah cahaya yang mampu menerangi hati kita untuk pasangan yang mendampingi kita masing-masing.

Untuk saat ini, biarlah aku pergi menjauh untuk menata hati semampuku, berusaha sebisaku, tolong jangan datang lagi, tolong berhentilah memberi harapan semu, pergilah dengan pilihanmu, aku tak apa. Biarlah aku dengan duniaku saja kini.

Pernah aku jatuh hati
Padamu sepenuh hati
Hidup pun akan kuberi
Apapun akan kulalui

Tapi tak pernah ku bermimpi
Kau tinggalkan aku pergi
Tanpa tahu rasa ini
Ingin rasa ku membenci

Tiba-tiba kamu datang
Saat kau telah dengannya
Semakin hancur hatiku

Jangan datang lagi cinta
Bagaimana aku bisa lupa
Padahal kau tahu keadaaannya
Kau bukanlah untukku

Jangan lagi rindu cinta
Ku tak mau ada yang terluka
Bahagiakan dia
Aku tak apa
Biar aku yang pura-pura lupa

Lantunan lagu milik Mahen seolah melukiskan perasaanku. Aku larut dan berusaha menguatkan diri. Selamat tinggal bang. Semoga perkataanmu dulu tak terjadi di masa depan. Doaku hanya itu saja tentang kita. Karena aku, sungguh tak ingin lagi bertemu apalagi memiliki hubungan apapun denganmu. Berbahagialah.

-Tamat-


Tuesday, December 10, 2019

cerbung... BUKAN KITA!

PART 9

Tujuan yang tak lagi sama




Hari ini Fattah memutuskan untuk mengambil cuti dan menghabiskan waktu di kosan. Ia tak bisa berpikir lagi tentang bagaimana meneruskan kisahnya dengan Dhiba. Satu hatinya berkata, tak ingin kehilangan begitu saja, namun di sisi lainnya ia tak tahu harus berbuat apa. Sejenak lamunannya melayang mengingat ibu yang telah begitu sayang pada Dhiba. Bahkan tak segan beliau sering memberi Dhiba uang saku saat silaturahmi ke rumah.

Ya, Dhiba sering menyempatkan diri berkunjung ke rumah, meski tahu tak ada Fattah di rumah itu. Tujuannya hanyalah bercengkrama dengan ibu. Mereka sering menghabiskan hari bersama di rumah, makan masakan ibu. Ah, sungguh baik sekali hati Dhiba. Dia bisa menyayangi ibu tanpa dirinya meminta.

Fattah pun masih tak percaya. Ibu adalah wanita yang begitu tegas padanya selama ini, mampu berduka atas kematian seseorang yang bahkan belum dikenalnya. Apalagi bertemu dengannya. Fattah mengingat setiap tetes sendu yang diutarakan pada gadis itu atas kematian ibunya. Meski hanya lewat ujung telepon rumahan, karena tak mungkin bagi ibu untuk menemui Dhiba.

Tak pernah terpikirkan oleh Fattah bahwa Ibu akan sangat menyayangi Dhiba sedalam ini. Terlepas dari rasa kehilangan anak perempuannya sebelum dilahirkan dulu. Fattah sangat mengenal Ibu. Fattah tak sanggup memikirkan bagaimana perasaan beliau saat tahu bahwa kini antara dirinya dan Dhiba tak ada lagi hubungan apapun.

"arghh... aku tak pernah sanggup menerima sikap keluarga Dhiba, apa itu tarbiyah? kenapa melamar saja susah," Fattah gusar mengusap kepalanya.

Sungguh hari ini rasanya melelahkan sekali memikirkan Dhiba, walau raga ini belum beranjak kemanapun. Berpikir tentang syarat yang sepertinya mustahil untuk dilakukan. Hatinya kesal berkecamuk dengan gelisah takut akan kehilangan. Tapi juga tak tahu harus berbuat apa untuk tetap bisa mencintainya.

'bip'

Fattah meraih handphone diatas meja kecil sebelah tempat tidur dengan malas. Ada pesan masuk, dari Siska.

[lg apa?]
[ketemuan yuk, cuti kan?]

[Kok tahu?]

[Motormu ada di kosan pasti cuti, hehe]

[Oh]
[yok, jam 2 ditempat biasa]

[oke]

Fattah pun bergegas mandi dan beranjak untuk sholat dzuhur di masjid. Sesampai di kosan, Ia merapikan berkas kerja yang semalam dibawa untuk dikerjakan, meski kenyataanya tak sempat. Tak berselang lama, Fattah pun bersiap diri untuk bertemu Siska.

*****

"Fattah, kenalin Hana, dan Hana ini Fattah", ujar Siska membuka pertemuan hari ini.

"Fattah, Salam kenal", kata Fattah.

"Hana", ujar wanita yang duduk bersebelahan dengan Siska.

****

Setelah beberapa pekan tak lagi berkomunikasi dengan Fattah, Dhiba masih tak bersemangat keluar kosan untuk sejenak bersenang-dengan dengan teman-teman di kampusnya. Entah kenapa ia kali ini Ia lebih sering berada di kamar, memikirkan Fattah. Lelaki yang sudah empat tahun lamanya mengisi hari-harinya dan kini tak ada lagi di dalam dunianya. Lelaki itu entah kemana saat ini. Lama menghilang tanpa kata pamit. Padahal dulu ia berjanji akan menggenggam tangannya, mendatangi keluarganya meminta dengan baik.

Masih jelas dalam ingatan Dhiba, terakhir kali Ia mengutarakan "syarat" dari keluarga besar padanya. Setelah itu, Fattah menghilang, Ia hanya mengungkapkan bahwa tak mungkin memenuhinya dan hanya sekali berkata mengiyakan untuk mengakhiri hubungan yang sudah lama terjalin. Semudah itu menurut Dhiba. Entah apa alasan Fattah, yang pasti Dhiba pun tak tahu dan mencari lebih jauh.

Beribu tanya dalam diri Dhiba tentang Fattah yang tak kunjung ia pahami seorang diri. Semua Abang kini telah mengenalnya. Hanya Mami saja yang tak sempat mengenal Fattah secara langsung karena sakit, lalu tak lama Mami tiada. Memang tak ada sikap manis yang ditunjukkan Abang saat Ia berkunjung ke rumah. Karena di keluarganya tak akan pernah diakui jika belum ada ikatan sah.

*****

Pilihan Sulit itu bernama ikhlas

Tangan Dhiba asyik berselancar di dunia maya. Facebook lagi ngetrend saat ini menggantikan friendster. Lebih mudah mencari seseorang hanya dengan menuliskan namanya.

'deg'

Hatinya mendadak bergemuruh dengan hebat. Ada nafas yang tertahan di sana, menyebabkan sesak tak terkira. Dhiba mencoba tenang dan melihat dengan seksama. Berulangkali 'scroll' ke atas lalu kebawah memastikan benar apa yang baru saja dilihatnya. Kalau saja itu benar, maka mungkin inilah jawaban dari-Nya untuk kehidupan yg tengah ia jalani.

Jelas terpampang status yg ditulis akun tersebut adalah 'In a relationship' pada laman profil facebook yg pasti Dhiba mengenalnya. Belum lama Dhiba yakin tak ada tulisan tersebut. Namun bila sekarang ada, maka dipastikan itu bukan dengan dirinya. Apalagi tak ada keterangan dengan siapa hubungan yg dimaksud. Tapi akhirnya, Dhiba menemukan satu foto sepasang perempuan yg sengaja di unggah di sana. Mungkin salah satu dari wanita itu adalah, ya kekasih baru Fattah.

Ada luka yang kembali menganga, bagai tersiram air asam pada luka sebelumnya yang pastinya belum juga kering. Dhiba termenung menatap akun facebook itu dengan perasaan pedih. Semudah itukah Fattah melupakannya, setelah bertahun-tahun terjalin kisah bersamanya. Tak adakah lagi tersisa dirinya dalam hati Fattah? Hanya kalimat-kalimat tanya itu yang melayang memenuhi pikiran Dhiba. Hingga tak terasa Ia terlelap dalam pilu yang mendalam.

*****

Tak Tergoyah

Siang hari ini Dhiba disibukkan dengan kunjungan ke sebuah sekolah tempat Ia dan beberapa temannya diberikan tugas untuk mengobservasi kegiatan belajar mengajar. Dhiba kini sudah semangat lagi, karena tuntutan perkuliahan yang semakin banyak membuatnya tenggelam di dalam tugas-tugas dan tak pernah lagi memikirkan Fattah. Hingga senja menjelang saat Dhiba berkemas akan pulang, sebuah pesan singkat masuk dalam telepon genggamnya..

[Assalamualaikum.. apa kabar Nak Dhiba? Semoga sehat walafiat. Maaf ibu lama tak ada kabar. Tapi bisakah ibu minta tolong? Bisakah Dhiba kembali pada Fattah? Ibu mau Fattah mendapatkan jodoh dari kota yg sama. Ibu tak bisa berjauhan dengannya kelak. Sebelum janur kuning melengkung, sebelum cincin melingkar di jari manis. Berusahalah dulu Nak,tak ada yang salah. Belum terlambat.]

Sejenak Dhiba terkejut dengan isi pesan itu. Tak dipungkiri hatinya bersorak gembira melihat Ibu Fattah masih mengharapkan dirinya. Tapi Ia tahu diri, tak pantas jadi pengganggu suatu hubungan ataupun sampai menjadi perebut kekasih orang lain. Itu jelas bukan dirinya. Dhiba masih ingat, saat terakhir kali Ia memaksakan dirinya menghubungi Fattah terlebih dahulu setelah sekian lama tak ada komunikasi. Dirinya semakin sakit dengan jawaban yang diberikan oleh Fattah. Dhiba ingat, itu adalah lima tahun hari bersejarah untuknya dan Fattah. Tapi justru dilima tahun itu Dhiba harus benar-benar ikhlas melepaskan Fattah.

"Dhiba cari saja laki-laki lain yang bisa memenuhi syarat dan sesuai dengan kriteria keluarga Dhiba, maaf abang sedang sibuk, sudah dulu ya,"

Begitulah terakhir kali kalimat yang Dhiba dengar dari ujung telepon yang diucapkan oleh Fattah. Telepon pun terputus bersamaan dengan suara seorang wanita 'siapa?'. Dhiba telah kehilangan Fattah Dan hanya ikhlas satu-satunya cara untuk menerima keadaan. Belakangan Dhiba pun tahu bahwa kekasih baru Fattah adalah Hana, sahabat Siska.

Tersadar dari lamunan panjang yang menyakitkan, Dhiba segera membalas pesan singkat dari Ibu Fattah.

[Mohon maaf bu, Dhiba tidak bisa memaksa abang untuk kembali bersama Dhiba. Abang sudah sangat sayang pada kekasihnya. Dhiba tidak mau bu menjadi perusak kebahagiaan abang. Mohon maaf ibu, Dhiba sayang Ibu.]

Tak Ada kembali balasan dari Ibu Fattah atas sikap Dhiba.

*****

JODOH, Milik Tuhan semata

Beberapa bulan kemudian...

Ibu Fattah memberikan kabar bahwa Fattah akan melangsungkan pernikahan. Saat mendengar kabar tersebut, Dhiba sudah merasa biasa saja, Tak Ada lagi rasa sakit dihatinya. Rasa yang dulu untuk Fattah memang tidak sepenuhnya hilang, bisa jadi tersisa 1% saja yang berisi kenangan hampa, karena bagaimanapun, Fattah pernah mengisi hari-harinya.

Dhiba meminta izin untuk turut hadir pada acara tersebut, namun ibu Fattah melarang. Selain lokasi yang ditempuh cukup sulit, ibu khawatir Dhiba akan sedih. Begitulah menurut penuturan ibu pada sambungan teleponnya. Akhirnya, Dhiba mengalah dan menitipkan salam untuk Fattah juga istri serta mendoakan kebaikan untuk pernikahan keduanya.

*****

Seuntai puisi tertuang pada laman facebook milik Fattah.

Bukan_Kita!

Andai saja pertemuan itu tak ada
mungkin aku tak perlu sedalam ini mengobati luka
Ingin rasanya aku bisa lupa
melupakan semua kisah yang pernah ada
diantara kita
namun tak pernah jadi milik kita akhirnya
sungguh aku tak mengerti mengapa rasa itu hadir dulu kala
tangan lembutnya masih bisa kurasa saat ku genggam
semerbak harum helaian jilbabnya masih menelisik ke dalam sesaknya nafasku hingga kini
meninggalkanmu dalam diam adalah memang sebuah kesalahan
tapi menjauhimu adalah caraku melupakanmu
berhenti berharap tentangmu
yang sejujurnya belum pernah ku perjuangkan sekalipun
aku merasa rendah
terutama di hadapan keluargamu
apalah aku yang masih jauh diambang batas minimal standar yang kau ajukan
hingga akhirnya aku terpaut kasih berbalas yang lebih menyanjungku
semakin tak ada apapun yang bisa membuat kita kembali
aku memutuskan untuk melepasmu
seumur hidupku
melalui ijab yang aku lantunkan dengan lantang
meski saat latihan aku mengaku terpeleset namamu
tapi dalam masa depanku
tentu sudah tak ada kamu
hanya aku dan dia
keluarga baruku
selamat tinggal
masa laluku

-TAMAT-




Catatan :

Seberapa lama kita menjalin hubungan dengan seseorang, jika ia bukan jodoh kita maka tetap tak akan bersanding bersama. Itulah mengapa hubungan tanpa status yang jelas dan sah dimata Tuhan dilarang. Selain tidak menundukkan pandangan yang bisa saja akhirnya melampaui batas, tentu juga merugikan waktu dan sebagian besar pikiran kita. Belum lagi jika kelak kenangan bersamanya akalan terus menghantui kehidupan kita di masa mendatang. Jadi, semoga kisah ini BUKAN_KITA! yang menjadi lakonnya, juga tidak untuk keturunan kita berikutnya.

Terima kasih untuk yang sudah meluangkan waktu mampir di tulisan author abal² 😁

Semoga beneran ada hikmah yang bisa dipetik meski hanya secuil ya. Sampai bertemu pada kisah lainnya. 🥰


Monday, December 9, 2019

cerbung.... BUKAN KITA!

PART 8

Singkat cerita….. curhat dulu hahahaa

[Maafkan author abal² uda mumet mau mengurai cerita ini. Terima kasih kepada yang sudah berkenan membaca. Cerita berdasarkan kisah nyata, yang banyak bumbu tambahan dan dipastikan hanya beberapa % saja kebenarannya. Selamat menikmati 2 part lagi menuju akhir cerita. Mohon maaf jika ngeflat abis ceritanya ya. Terima kasih kunjunganya 🥰]

*****

Ketika Mami Pergi

Pusara itu masih basah, tanda belum lama seseorang dikebumikan. Harum semerbak kembang tujuh rupa menutupi hampir semua permukaan tanah. Nisan sederhana tanpa nama, tapi mampu membuat air mata Dhiba selalu terurai sempurna membasahi pipi.

Kepergian Mami Dhiba menimbulkan luka di dalam diri Dhiba. Meski itu sudah berlangsung selama sepekan lamanya. Ya, Mami meninggal tepat saat keempat anaknya berkumpul. Tak Ada tanda sedikitpun, karena saat itu Mami terlihat seperti akan sembuh. Namun, Allah berkehendak lain, saat terakhir bahagia Mami berkumpul bersama anak-anaknya adalah kenangan yang tak dapat dilupakan oleh Dhiba.

Tak cukup hanya sampai disitu, kehadiran Fattah pun tak ada disisinya saat itu meskipun keduanya masih berhubungan baik. Fattah sedang dalam posisi yang tidak memungkinkan untuk pulang, sedangkan ibu Fattah sempat menelpon rumah Dhiba saat malam hari setelah mendengar kabar Mami Dhiba telah berpulang. Tapi tidak berani datang mengingat ibu Fattah pun tahu bahwa anaknya menjalin hubungan tanpa restu dari pihak keluarga Dhiba. Keluarga Dhiba bukan tidak setuju, namun mereka hanya memprioritaskan sekolah dan kuliah Dhiba terlebih dulu. Fattah hanya berkunjung tidak lebih dari lima kali ke rumah Dhiba. Selebihnya, seperti biasa Fattah hanya mengantar sampai tepat di depan rumah Dhiba tanpa masuk ke dalam. Fattah hanya mengenal Athar karena hanya dia yang masih lebih terbuka terhadap hubungannya dengan Dhiba. Tapi, restu utama tetap dari bang Afnan sebagai kakak tertua Dhiba. Apalagi bang Afnan meragukan pekerjaan Fattah yang hanya sebagai pegawai bank.

****


2 tahun kemudian…..

Tak terasa Dhiba sudah berstatus sebagai mahasiswa di salah satu universitas Negeri di daerah Sumedang. Meskipun seharusnya dekat dengan Fattah. Tapi hanya satu kali saja Fattah dan Dhiba bertemu. Mereka menghabiskan waktu di toko buku membeli beberapa buku yang mendukung kuliah Dhiba. Masih lekat dalam ingatan Dhiba pertama kali saat ia memilih perguruan tinggi. Fattah membujuknya untuk memilih di UNPAD agar dekat dengan dirinya. Meskipun begitu, Dhiba tidak mau berlarut dengan hubungannya yang kian renggang dengan Fattah.

Dhiba ingat, bagaimana saat kepulangan Fattah terakhir kali ketika dirinya masih SMA, berawal dari penemuan Dhiba tentang seorang wanita lain yang sering menghabiskan waktu menelpon dan sms Fattah. Entah kenapa, pada waktu itu Dhiba menemukan banyak sekali riwayat panggilan dari nomor itu. Fattah pun akhirnya meminta maaf, memberikan setangkai bunga juga coklat kesukaan Dhiba dan berjanji tak akan mengulanginya dengan cara menghapus kontak wanita tersebut. Tanpa sepengetahuan Fattah, Dhiba justru menyimpan nomor handphone laki-laki bernama Ogi yang Fattah bilang bahwa wanita tadi adalah kekasih dari Ogi. Saat Dhiba sampai di rumah, ia segera menghubungi nomor tadi untuk mendapatkan kebenaran cerita Fattah. Namun, apa yang Dhiba dapat? Ternyata nomor tersebut bukanlah nomor Ogi, melainkan Zia. Ya, wanita yang Fattah akui sebagai kekasih Ogi. Fattah berbohong, entah untuk apa ia melakukan itu. Namun, Dhiba tak lagi marah atau cemburu pada Fattah. Dalam hati kecilnya, ia tak mau lagi berharap lebih banyak dari hubungan yang terdapat kebohongan di dalamnya.

*****

Memasuki tahun ketiga di perkuliahan membuat Dhiba semakin sibuk. Fattah masih menjalin hubungan dengan Dhiba, meski ia kini dirundung gelisah.

[Yang, sibuk apa?]

Pesan singkat Fattah di siang hari saat jam istirahat tiba.

[makan]

[Ada apa?]

[Kapan Kita bisa bicara?]

[Nanti malam boleh, saat aku sampai kos]

[Ayo, ketemu, abang jemput ya!]

[Gak perlu, dimana? Aku bisa jalan sendiri]

[Oke, klo gitu abang ke kampus ya, tunggu jangan pulang dulu]

[Ya]

*****

Ketika Cinta tak Temukan Muara

Dhiba dan Fattah akhirnya bertemu. Setelah sepekan lalu Dhiba mengatakan salah satu syarat jika ingin melamarnya nanti. Dhiba masih menyayangi Fattah, meskipun laki-laki di hadapannya kini entah sudah 'bermain' berapa kali di belakangnya. Dhiba memaafkan dan mencoba berpikir baik dengan tujuan awal mereka menjalin kasih.

"Apa kamu yakin Yang itu syaratnya?" tanya Fattah ingin mendengarnya lagi dari Dhiba.

"Betul, itu bukan syarat yang sulit bang kalau abang bersungguh-sungguh ingin bersama Dhiba," jelas Dhiba.

"Abang baru denger Yang, dimana-mana syarat menikah yang diajukan biasanya seputar berasal dari keturunan baik, memiliki pekerjaan yang mapan, dan baik dalam menjalankan agamanya," terang Fattah memberi pembelaan.

"Bang, baik dalam agama itu tidak cukup hanya dengan melaksanakan yang wajib, agama itu luas bang salah satunya adalah berada dalam lingkaran tarbiyah, abang keberatan?" tanya Dhiba.

"Abang belum siap Dhiba…." suara Fattah terdengar melemah.

Dhiba hanya menghela nafas panjang, selain tentunya kecewa dengan jawaban Fattah, ia juga kaget sejak kapan Fattah memanggilnya lagi dengan sebutan nama.

"Kalau begitu sebaiknya Kita akhiri saja bang," jelas Dhiba sambil menahan air mata tak luruh.

Fattah hanya terduduk lesu tanpa mampu mengungkapkan apapun. Ia terlihat mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

"Ini," kata Fattah sambil menyodorkan sebuah botol parfum dengan desain elegan.

"Untuk Dhiba?" tanya Dhiba memastikan.

"Iya, mungkin ini kenangan terakhir dari abang, semoga Dhiba bahagia meski bukan dengan abang," tutur Fattah yang kemudian tak bisa menahan tangisnya. Air matanya luruh di depan wanita pujaannya sejak dulu. Ia bimbang, namun tak juga mampu memberi harapan pada Dhiba untuk memenuhi syarat yang keluarganya ajukan.

Dhiba merubah posisi duduknya, ia kini berada di samping Fattah.

"Ijinkan Dhiba bersandar sejenak boleh bang?" tanyanya ragu.

Fattah hanya mengangguk. Dhiba menyandarkan sedikit kepalanya pada lutut Fattah. Tak terasa air mata pun membasahi pipinya. Hatinya terluka melihat Fattah menyerah begitu saja tanpa memperjuangkan apa-apa. Tapi ia tak berdaya until memaksa kekasihnya itu untuk sedikit berusaha untuk dirinya. Biarlah semua ini berjalan sesuai dengan apa adanya.

"Semoga abang menemukan jodoh yang tepat dan baik ya," kata Dhiba mendoakan sambil menggenggam erat parfum pemberian Fattah dalam pelukannya.

Tangan Fattah terasa membelai lemah jilbab yang menutupi kepala Dhiba. Setelahnya, mereka saling berdiam dan tak lama kemudian saling berpamitan. Masing-masing membawa duka dan luka yang tak tahu kapan akan menemukan penawarnya.

*****


Thursday, December 5, 2019

Cerbung.... BUKAN KITA!

PART 7

Kelulusan Fattah




Beberapa bulan belakangan ini Mami lebih sering terbaring di tempat tidur mengikuti saran dokter untuk lebih banyak istirahat. Kesehatannya mulai menunjukkan gejala yang tidak main-main. Untuk itulah, ia meminta anak-anaknya secepatnya pulang ke rumah menemaninya beberapa hari. Awalnya anak-anak Mami tak setuju, karena terkait pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Namun, Mami menceritakan secara singkat dan memohon untuk anak-anaknya bisa hadir karena ada hal penting yang perlu dibicarakan bersama. Alhamdulillah akhirnya mereka semua sepakat untuk pulang ke rumah ditanggal yang telah mereka sepakati bersama.

*****

Tak terasa hari kelulusan Fattah tiba. Tidak ada selebrasi yang spesial. Karena ia merasa hanya kuliah di perguruan tinggi swasta dan cukup terlambat lulus karena urusan skripsi yang mengular. Ia bahkan tak ikut wisuda karena merasa malu dan menganggap itu bukan hal penting. Justru Fattah lebih memilih menyibukkan diri dengan mencari pekerjaan. Beberapa ia coba melalui lowongan di internet.

Alhamdulillah tak perlu menunggu waktu lama ia langsung diterima kerja di salah satu bank konvensional daerah Sumedang. Meskipun hanya menempati kantor cabang, tapi ia punya posisi yang lumayan menjanjikan. Fattah adalah seorang pekerja keras. Tumpukan pekerjaan semakin menyibukkan dirinya sehingga jarang sekali pulang, apalagi menemui Dhiba. Tak jarang ia sering lembur dan pulang ke kosan larut malam. Hanya pada akhir pekan saja ia sempat menelpon Dhiba, itupun jika ia tak merasa lelah.

*****

Dhiba termenung menanti setiap akhir pekan berharap ponselnya berdering. Ya, yang ditunggu hanyalah panggilan dari sang kekasih, Fattah. Tapi entah kenapa beberapa pekan berlalu tanpa kabar darinya. Bahkan pesan singkat pun semakin singkat karena mungkin kesibukannya tanpa bisa membagi waktu untuk dirinya.

Pada akhirnya Dhiba pun menyerah tentang Fattah, ia lebih memilih menenggelamkan diri dengan pelajaran-pelajaran di Sekolah. Tak terasa saat ini Dhiba sudah duduk dibangku kelas XII yang artinya sebentar lagi ia akan mengikuti Ujian Nasional. Namun, karena sakit Mami yang semakin parah membuatnya seringkali gelisah dan tak konsentrasi dalam belajar.

Beberapa hari yang lalu, Mami berteriak histeris tanpa tahu apa sebabnya. Terkadang melamun seorang diri tanpa banyak bicara seperti dulu. Untuk itulah mendadak besok semua kakak Dhiba akan berkumpul demi menyenangkan hati Mami. Tapi Dhiba tak pernah menceritakan apapun soal keluarganya kepada Fattah, pun sebaliknya keluarga Dhiba tak seorang pun tahu hubungannya dengan Fattah. Ah ya, kecuali Athar. Itupun mereka tak pernah berkenalan secara langsung.

'tok..tok..tok'

terdengar pintu kamar diketuk berbarengan dengan Athar yang tiba-tiba masuk ke dalam.

"Belajar?" Tanyanya langsung saat mendapati Dhiba tengah terdiam memandang buku dalam genggamannya.

Dhiba bergeming. Tak Ada jawaban.

"Dhibaaaa..." Dengan nada yang sedikit dinaikkan, Athar memanggil Dhiba.

"Eh,iya bang kenapa? Loh kok uda disini? Ga ngetok dulu?" Selidik Dhiba kaget bercampur heran melihat Athar sudah berada di dalam kamarnya.

"Mikirin siapa kamu?" Bukannya menjawab pertanyaan Dhiba, tapi Athar malah balik menyerang Dhiba dengan pertanyaan.

"Bukan siapa-siapa" jawab Dhiba datar.

"Fattah?" Tanpa dijawab pun Atahr seolah tahu apa yang tengah dipikirkan oleh adiknya itu.

"Ngapain sih masih dipikirkan, belajar sana buat UN, mau masuk univ mana nanti?" Cerocos Athar.

"Au ah" jawab Dhiba malas.

"Wah wah wah lagi pada ngapain kalian nih?" Tiba-tiba abang Dhiba muncul begitu saja dari balik pintu.

"Abang??? Loh kapan dateng?" tanya Dhiba

"Lah, iya bang kan katanya besok baru dateng?" Athar pun bingung.

"Kalian ini ngobrol serius banget sampe-sampe bel rumah ga kedengeran? Lagian tuh pintu ga dikunci, tumben," jelas Bang Afnan

"Ouwh iya bang bel rumah lagi rusak belum sempat Athar perbaiki, hehe..." jelas Athar sambil cengengesan.

"Alvin mana? kapan dia dateng?" tanya bang Afnan pada Dhiba Dan Athar.

"Ga tau bang mungkin nanti malam atau besok paling lambat." Terang Athar.

"Abang ga bawa pasukan?" tanya Dhiba sambil terkekeh.

Pasukan itu intinya istri dan anak-anak dari bang Afnan.

"Ya, kamu nih abang mau merawat Mami disini, ga memungkinkan kalau harus bawa mereka, nanti malah anak-anak berisik, Mami ga bisa istirahat," jelas Bang Afnan.

"Abang ke kamar Mami ya." Katanya sembari berlalu dari kamar Dhiba.

Begitupun Athar yang ikut juga ingin melihat Mami bareng bang Afnan. Jujur, Athar ingin sekali melihat ekspresi Mami saat bertemu abang, anak sulung kesayangan Mami.

*****

Entah Siapa yang Berubah

'ting'

[Yang]

Dhiba membaca pesan itu dengan senyum datar. Karena sejujurnya dia tidak ingin berharap lebih lagi pada Fattah meski hati kecilnya pun masih saja melonjak kegirangan memandang nama Fattah tertera dalam layar ponselnya. Bagi Dhiba, Fattah seperti telah melupakannya. Entah apa yang Ia lakukan di tempat tinggalnya yang baru, sehingga kini saat malam pun seperti tak ada waktu untuk Dhiba.

'drtttdrttdrtt'

Handphone Dhiba bergetar dalam genggamannya. Sedari tadi ia belum juga membalas pesan singkat dari Fattah, hingga akhirnya lelaki itu menghubunginya. Panggilan pertama, Dhiba hanya termenung. Ia seperti tak ada semangat, namun menyerah saat panggilan Fattah ketiga kalinya.

{"Iya, ada apa?"}

{"Kenapa gak diangkat dari tadi, Yang?"}

hening, Tak Ada satu patah kata pun yang Dhiba utarakan.

{Yang, kenapa? InsyaAllah aku mau pulang ke Bandung,"}

{"Oh, kapan?"}

{"Bulan depan ya, setelah target pekerjaan tercapai, aku ambil cuti,"}

"Hay, atok ke masjid bareng". Suara di seberang telepon setengah berteriak mengagetkan Dhiba. Ia pun bertanya,

{"abang sama siapa?"}

{"teman abang Yang, udahan ya abang mau ke masjid"}

{"cewek?"}

{"iya, siska namanya", dia asli Sumedang"}

{"akrab bang?}

{"Biasa aja Yang, dia sering bantu abang kalau ada perlu ke tempat-tempat yang abang harus datangi karena belum hafal daerah sini"}

Seperti tak ada beban, Fattah mengatakan semuanya apa adanya tanpa ada yang ditutupi. Tanpa disadari itu menyakiti hati Dhiba yang dengan segera memutus percakapan dengan mematikan panggilan. Fattah pun tak paham, sehingga Ia berlalu begitu saja dan berjalan menemui Siska until ke masjid bersama.

Ya, Siska adalah teman baru Fattah di Sumedang yang telah banyak membantu selama berkeliling daerah ini. Siska baik dan tahu bahwa Fattah sudah memiliki kekasih. Tak ada niatan untuk merebut Fattah, hanya ia ingin bergaul tulus sebagai teman.

*****

Hai dairy

Tahukah hari ini

Aku mendapati hal baru

Sepasang manusia tengah bercengkrama

Mesra

Meski tak ada apa-apa

Tuturnya padaku

Tapi hatiku berkata lain

Ia seperti menjauh

Mempermainkan perasaanku

Seolah 'itu' bisa untuk dibagi

Sungguh aku tak bisa pahami dia

Tolong aku

Bantu aku

Menenggelamkan rasaku

Agar tak jauh membumbung tinggi di atas awan

Jika akhirnya aku akan merasa sangat terluka


Terlahir dengan Takdir Berbeda