Search This Blog

Tuesday, July 27, 2021

book review "sylvia's letters"

Judul Buku : Sylvia's letters
Penulis : Miranda Malonka
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2015







Buku ini saya beli tanpa sengaja di salah satu bazar murah toko buku dalam mall. Kenapa tidak sengaja? Karena niat saya dari awal menginjakkan kaki di mall tersebut hanya ingin membeli makanan. Berhubung antri, kebetulan sekali di depan resto itu ada bazar buku. Cukup lama berkeliling mencari buku yang pas sesuai selera. Hampir setiap buku dibaca bagian resume singkat atau headline yang biasa terletak dibagian belakang buku. Jika beruntung menemukan buku dengan cover plastik pembungkus yang sudah terbuka, maka saya akan melihat bagian dalam dan membaca secara cepat perbagian. Tapi tentu saja saya tidak pernah sekalipun membuka sendiri cover plastik tersebut. Oleh karenanya, jika semua buku masih terbungkus rapih, saya harus rela membaca yang disajikan di bagian belakang.


Harga buku ini sangat murah, walau memang tak aneh atau bukan hal baru di mana bazar buku pasti memberi harga buku jauh di bawah standar. Tapi baru baca bagian belakangnya saja, saya yakin ini isinya bagus dan berbobot. Kelihatan dari bagaimana penulis merangkai kata demi kata. Yes, kembali ke selera konsumen sebenarnya kenapa sampai akhirnya buku ini harus berada di deretan bazar. Apalagi di tengah persaingan media cetak dan digital yang kian sengit. Bisa jadi, banyak kini konsumen penikmat bacaan lebih memilih kepraktisan membaca digital.

Back to buku, dengan harga Rp 10.000 saya bisa membawa pulang buku ini dengan antusias. Sejak duduk di sekolah dasar saya adalah seorang penulis surat. Saya memiliki sahabat pena dari berbagai pulau. Jadi saat membaca judul surat Sylvia dengan bahasa yang sungguh tertata dan indah pada halaman pertama membuat saya ingin segera menghabiskan kisah dalam buku ini.
Sylvia adalah seorang remaja menuju dewasa yang harusnya sedang asyik mencari jati diri, tapi nyatanya dia adalah anak yang sudah terlampau dewasa dari usia dan teman-teman sebayanya. Cara berpikirnya yang logis, terstruktur, kritis, dan memiliki kepedulian tingkat tinggi baik pada orang sekitarnya maupun lingkungan. Saya jadi berpikir mengilas balik yang saya alami dulu saat sekolah menengah atas dan berkata pada diri sendiri "Ya ampun, dulu gue gak sampai situ mikirnya, masih seneng main".

Seorang Sylvia bahkan sudah mengenali dirinya, kelebihan apa yang ia punya dan bagaimana menyalurkannya. Bahkan ia terheran-heran bila ada teman-teman yang belum mengetahui apa minat dan bakatnya. Cerdas bukan? Bahkan Sylvia mengerti kata produktif. Baginya setiap waktu harus dihabiskan dengan kegiatan produktif.

Kehidupan Sylvia digambarkan sesuai realita yang terkadang luput dari pandang orang tua.  Buku ini membahas tentang Sylvia yang masih tidak percaya diri terhadap tubuh yang menurutnya memiliki kelebihan berat badan. Lalu ada Andy, teman Sylvia dengan problematika siblings rivarly yang terbentuk karena pola asuh orang tua yang tidak tepat, yaitu membandingkan kepintaran dan prestasi antara kakak dengan adik. Menempatkan bahwa prestasi adik harus sama seperti kakak. Padahal setiap anak itu unik dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kita tidak bisa memaksakan baju adik digunakan kakak, maka begitupun sebaliknya.

Ada hal yang tidak hanyya menarik bagi saya, tapi juga menggelitik. Kepedulian, sikap kritis, dan berani bergerak berupaya untuk meluruskan sesuatau yang salah yang dimiliki Sylvia membuatnya menulis surat kepada pemilik The Flashlight Original Circus mengenai ekploitasi hewan pada pertunjukkan circus mereka. Bagi Sylvia, pertunjukkan sirkus hewan tidak sama dengan sirkus manusia. Apa perbedaannya? Sepertinya dibaca sendiri lebih menyentuh ya daripada saya ceritakan di sini, hehe....

Satu hal yang membuat saya tertegun sejenak, selain ending yang di luar dugaan adalah ketika Sylvia jatuh cinta. Bagaimana seorang anak SMA berpikir lebih dalam mengenai perasaan yang tiba-tiba saja hadir dalam hidupnya. Dia sungguh mencari tahu apakah ini benar cinta atau hanya sekedar kagum? Bagi Sylvia cinta itu bisa menerima segala kekurangan dari orang yang dicinta. Tapi jika kagum, sebatas menyukai apa yang sudah orang itu lakukan dan tunjukkan. Dan perlu diingat, apakah benar kita mencintai dia? Atau sekedar cinta karena orang itu memiliki hobi yang sama dengan kita? memiliki banyak kesamaan dengan kita? atau telah menyukai apa yang kita sukai juga? Bukankah jika demikian artinya kita tiidak benar-benar jatuh cinta padanya, melainkan hanya jatuh cinta pada pantulan diri kita yang ada padanya? BOOOM!!!

Saya benar-benar masih terngiang-ngiang isi novel ini yang banyak sekali menyimpan makna. Bukan hanya pelajaran berharga, tapi sekaligus mengoreksi diri saya, terutama dengan kondisi jabatan saya sebagai ibu dua orang anak, apakah saya melakukan hal yang sama seperti orang tua Andy? Oh, semoga tidak! Jika tanpa sadar ya, Semoga belum terlambat untuk memperbaikinya.



-syifaachyar-

No comments:

Post a Comment

Terlahir dengan Takdir Berbeda