POV Dhiba
**********************************
"Hei, uda lama?"
"Nggak, baru dateng."
Sapaan kami untuk pertama kali setelah setahun lamanya ia menghilang memutuskan komunikasi begitu saja. Aku tahu, ia sudah milik yang lain. Aku tahu, ia tak mungkin kembali. Aku juga tahu, sudah tentu tak ada lagi namaku di hatinya. Karena takdir kita hanya sekedar dipertemukan di masa lalu, namun Bukan Kita yang dipersatukan di masa depan. Entah apa yang membuatku mengiyakan ajakan darinya untuk bertemu. Mungkinkah aku merindukannya? Atau hanya sekedar ingin tahu untuk apa ia ingin menemuiku.
Fattah.
Dia adalah laki-laki yang sangat istimewa di hatiku dulu, bahkan mungkin hingga saat ini. Tuhan menghadirkannya dalam episode kehidupanku dengan indahnya. Dia juga dengan mudahnya meninggalkanku di saat tantangan menyapa bersama. 'Harusnya kamu berjuang dan mempertahankan ini semua jika kamu cinta. Bukankah kamu sudah berjanji?' Hal itulah yang pernah terlintas ingin kurutuk padanya. Namun nyatanya menguap bersama hari-hari yang kian berlalu. Entah bagaimana caranya aku akan melupakan dia, aku belum tahu. Kini laki-laki itu duduk di hadapan, memandangku sesaat kemudian menyunggingkan senyum yang sedikit dipaksakan.
"Apa kabar Dhib?" tanyanya memulai percakapan.
"Alhamdulillah," jawabku singkat.
"Sibuk apa sekarang?" tanyanya lagi.
"Biasa aja," jawabku bingung. Ingin sekali berkata padanya, aku nggak sibuk apa-apa sampai bisa menemuimu di sini. Ugh, lagi-lagi aku hanya mampu berkata dalam hati.
"Kamu, hmm…..", kalimatnya menggantung.
"Apa?" tanyaku penasaran.
"Apa abang tidak masalah menanyakan hal ini padamu?" tanyanya.
Aku hanya sanggup mengangguk tanda setuju.
"Kenapa kamu harus ke luar negeri?" tanyanya melemah, seperti menahan haru yang sulit diungkapkan.
Pertanyaannya membuatku tersentak seketika, sekaligus sanggup membuat panas wajahku. Beruntung aku bisa menepisnya cepat-cepat. Tahu darimana dia kalau aku akan pindah ke luar negeri? Apa selama ini ia masih stalking media sosial milikku? Aaaghr GR nya aku.
"Aku hanya melanjutkan sekolah disana," jawabku datar.
"Bukan karena abang?" tanyanya dengan tatapan penuh percaya diri atau entah itu harapan.
Aku menggeleng perlahan.
'Ya, karenamu bang', ucapku dalam hati. Aku hanya sanggup mengatakan itu pada diriku sendiri. Walau sejujurnya aku ingin sekali berkata yang sebenarnya. Tapi aku tak ingin ada hati yang tersakiti nantinya hanya karena itu.
"Dhiba…. jujurlah!" titahnya padaku.
Sekali lagi aku hanya bisa menggelengkan kepala. Maafkan aku yang berbohong untuk menjagamu dan tentunya pasanganmu saat ini. Walau rasanya hatiku sakit sekali.
"Aku sudah jujur, kepergianku ke luar negeri murni hanya untuk sekolah lagi." Jawabku mantap, meski jantungku berdegup hebat seolah akan ada gemuruh yang siap meruntuhkan pertahananku. Aku menyakinkan diri sambil berusaha agar butiran itu tak perlu luruh di hadapanmu.
"Abang rindu Dhib, maaf….." tuturnya pelan samar kudengar.
Bagai mendapatkan hawa sejuk, aku merasa di atas angin mendengar penuturannya. Tapi aku tak mau larut dalam angan-angan kosong belaka. Karena nyatanya, kita dengan keadaan yang berbeda sekarang.
"Untuk apa bang?" tanyaku ingin tahu maksud dan tujuannya berkata seperti itu.
"Nggak ada Dhib, abang hanya ingin mengatakannya saja," jawabnya polos.
"Mudah ya buat abang?" tanyaku sinis.
"Maksudmu?" Dia balik bertanya sedikit memincingkan sudut matanya, heran.
"Untuk apa bang mengungkapkan hal yang sia - sia?" tanyaku lagi jengkel dibuatnya.
"Bagi abang itu tidak sia-sia, abang ingin kamu tahu, bahwa dulu….. maafkan abang Dhiba," Ia tak sanggup meneruskan percakapan dan tiba-tiba menggenggam tanganku memohon. Aku tak kuasa menolak dan justru tersenyum manis dalam hati menikmati genggaman tangannya yang telah lama aku rindukan.
"Dhiba tidak mau mengungkit semua yang sudah berlalu, maaf tolong lepaskan tangan abang," kataku, meski hati ini berteriak 'genggam erat selalu tangan ini bang'.
"Kasih abang kesempatan sekali ini aja Dhib, setidaknya sebelum kamu pergi ke luar negeri, abang mohon maafkan abang", genggaman tangannya semakin erat kurasa, semakin membuatku tak mampu berkata tidak lagi. Aku mengutuk diriku sendiri, ada apa denganku hari ini.
"Jika hanya sebuah maaf, maka aku sudah memaafkan abang sejak dulu, tepat saat hari dimana abang memutuskan hubungan kita. Aku percaya, pilihan abang tepat", jelas ku padanya. Belum sempat ia menjawab, aku meneruskan kalimatku.
"Pulanglah bang, jangan sakiti istrimu seperti ini,". Entah malaikat lewat dari mana aku bisa berkata dengan mudahnya. Tapi jangan tanyakan bagaimana rasanya hatiku, sakit. Ketika ku tahu bahwa, aku hanya bisa mengenalmu, tapi bukan aku yang beruntung memilikimu. hufft…. aku menghembuskan nafas berat mengingat bayanganmu dulu melintas memainkan sebuah lagu lawas dari naff.
Jika nanti ku sanding dirimu
Miliki aku dengan segala kelemahanku
Dan bila nanti engkau di sampingku
Jangan pernah letih tuk mencintaiku
*****
"Maafkan abang Dhiba, sungguh abang tidak bermaksud meninggalkanmu, abang memang pengecut, tak berani lagi menghadapi keluargamu, abang tak layak untuk Dhiba, abang merasa rendah dan tidak berguna", tuturnya yang menurutku sudah tak ada lagi gunanya kini.
Aku hanya termangu dalam lamunanku sendiri. Angin senja disini berbaik hati mampu menyegarkan hati dan perasaanku yang kian sesak. Bagaimana mungkin aku bisa menerima semua alasannya, atau bahkan bersorak ria dengan pengakuan rindunya terhadapku. Sedangkan aku tahu, disisinya kini telah ada sosok yang sama sepertiku yang harus dijaga perasaannya.
Wanita itu pernah melabrak, memaki, dengan tuduhan yang sama sekali tidak benar adanya. Padahal aku sama sekali tak mengenalnya, tapi dia pasti tahu bahwa aku adalah seseorang di masa lalu Fattah, calon suaminya. Sejak itu, aku pun semakin membuat jarak diantara mereka. Apalagi setelah mereka melangsungkan pernikahan, aku tak pernah sekalipun ingin tahu apapun lagi tentang mereka, meski mereka berdua pernah mengucapkan selamat atas kelulusan program sarjana di laman media sosialku.
"Aku sudah memaafkanmu bang, pulanglah", akhirnya aku membuka suara.
"Maafkan abang Dhiba, semoga perjalananmu lancar dan kehidupanmu lebih baik di sana", ucapnya padaku. Aku menangkap ada embun di matanya saat beradu pandang denganku.
"Terima kasih," jawabku menguatkan diri.
"Aku pamit ya, datanglah minggu besok di acara syukuran anak pertamaku jika sempat", terangnya sambil mengulurkan sebuah kertas undangan kecil bergambar robot.
Aku tidak begitu kaget dengan berita itu, karena sebelumnya aku sudah mendapatkan kabar itu dari Ibunya. Ya, komunikasi aku dengan Ibu Fattah masih berjalan walau hanya sesekali dan untuk hal penting saja.
Fattah berlalu pergi dari hadapanku dengan menyalamiku terlebih dulu. Seperti biasa ia menyodorkan punggung tangannya. Aku pun hanya menurut dengan mencium punggung tangannya persis seperti dulu.
"Abang masih sayang kamu, Dhiba", bisiknya lirih hampir tak terdengar. Lalu berlalu meninggalkanku yang masih duduk di bawah rimbunnya pohon pinus. Fattah berjalan melewati beberapa pepohonan yang semakin lama kian menjauh dari pandang.
Aku hanya diam, merenung tentang pertemuan ini yang entah ingin aku bodohi diri atau apa. Semua rasa sakitku muncul ke permukaan sekali lagi. Jauh lebih sakit, tapi anehnya aku juga lebih ikhlas. Mungkin inilah takdir yang harus aku lalui. Jikalaupun aku dilahirkan kembali, tentu aku tetap berada pada goresan perjalanan hidup yang seperti ini. Hikmahnya belum kurasa sepenuhnya, namun aku berharap akan ada secercah cahaya yang mampu menerangi hati kita untuk pasangan yang mendampingi kita masing-masing.
Untuk saat ini, biarlah aku pergi menjauh untuk menata hati semampuku, berusaha sebisaku, tolong jangan datang lagi, tolong berhentilah memberi harapan semu, pergilah dengan pilihanmu, aku tak apa. Biarlah aku dengan duniaku saja kini.
Pernah aku jatuh hati
Padamu sepenuh hati
Hidup pun akan kuberi
Apapun akan kulalui
Tapi tak pernah ku bermimpi
Kau tinggalkan aku pergi
Tanpa tahu rasa ini
Ingin rasa ku membenci
Tiba-tiba kamu datang
Saat kau telah dengannya
Semakin hancur hatiku
Jangan datang lagi cinta
Bagaimana aku bisa lupa
Padahal kau tahu keadaaannya
Kau bukanlah untukku
Jangan lagi rindu cinta
Ku tak mau ada yang terluka
Bahagiakan dia
Aku tak apa
Biar aku yang pura-pura lupa
Lantunan lagu milik Mahen seolah melukiskan perasaanku. Aku larut dan berusaha menguatkan diri. Selamat tinggal bang. Semoga perkataanmu dulu tak terjadi di masa depan. Doaku hanya itu saja tentang kita. Karena aku, sungguh tak ingin lagi bertemu apalagi memiliki hubungan apapun denganmu. Berbahagialah.
-Tamat-